Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merevisi kontrak Gross Split yang telah berlaku sejak 2018 menjadi New Simplified Gross Split.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Noor Arifin Muhammad mengatakan, hal tersebut dilakukan guna mendorong pengembangan bisnis hulu migas agar lebih sederhana, cepat, kompetitif, efektif, dan akuntabel.
“Pemerintah melakukan upaya revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Dalam perkembangannya, kontrak ini mengalami beberapa kali perubahan dengan harapan agar tujuan kontrak Gross Split dapat dicapai, yaitu menciptakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan bisnis penunjangnya menjadi global dan kompetitif, serta mendorong usaha eksplorasi dan eksploitasi yang lebih efektif dan cepat,” ujar Arifin dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (23/5/2023).
Baca Juga: Kementerian ESDM: Suplai Energi Indonesia 2022 Naik 19%
Arifin mengatakan, tujuan lain yang ingin dicapai adalah agar KKKS lebih efisien sehingga mampu mengatasi gejolak harga minyak dari waktu ke waktu.
Begitupun juga dapat mendorong bisnis proses KKKS dan SKK Migas menjadi lebih sederhana dan akuntabel, serta mendorong KKKS untuk mengelola biaya operasi dan investasiya dengan berpijak pada sistem keuangan korporasi, bukan sistem keuangan negara.
Lanjutnya, selain kontrak Gross Split, Indonesia juga memiliki bentuk kontrak lainnya, yaitu Kontrak Bagi Hasil Cost Recovery yang telah diberlakukan sejak puluhan tahun silam. Dengan adanya dua bentuk kontrak tersebut, KKKS memiliki pilihan bentuk kontrak.
“Kontrak bagi hasil migas di Indonesia terus mengalami perubahan untuk mengakomodasi kebutuhan industri. Pemerintah selalu berusaha menyempurnakan kontrak menjadi terus lebih baik. Minat calon investor terhadap dua bentuk kontrak, baik Cost Recovery dan Gross Split, tetap ada, sehingga pemerintah tetap membuka opsi bentuk kontrak tersebut dalam setiap penawaran Wilayah kerja (WK), baik untuk WK yang ditawarkan melalui penawaran langsung maupun melalui lelang reguler,” ujarnya.
Lebih lanjut Arifin menjelaskan, terdapat empat urgensi dalam penyempurnaan kontrak Gross Split. Pertama, memberikan kepastian nilai bagi hasil yang lebih kompetitif bagi KKKS.
“Penyusunan ulang sistem bagi hasil yang lebih kompetitif dengan negara lain dengan target total bagi hasil sebelum pajak KKKS pada rentang 80%-90% yang ditentukan berdasarkan profil risiko lapangan untuk meningkatkan kegiatan dan iklim investasi hulu minyak dan gas,” ucapnya.
Kedua, meminimalisasi ketergantungan keekonomian KKKS terhadap tambahan split diskresi menteri.
”Penganalisaan target bagi hasil para KKKS yang membutuhkan tambahan bagi hasil menteri untuk rancangan sistem bagi hasil baru yang dapat meminimalisasi kebutuhan split diskresi menteri dan menjamin keekonomian bagi para KKKS kontrak Gross Split,” ungkapnya.
kemudian yang ketiga ialah dengan melakukan simplifikasi dan penyempurnaan komponen dan parameter bagi hasil.
“Penyederhanaan jumlah komponen bagi hasil berdasarkan parameter teknis yang tidak menimbulkan perdebatan dalam penentuan dan efektif penerapannya. Pemilihan didasarkan pada parameter primer yang memberikan koreksi split utama pada kontrak Gross Split eksisting,” jelasnya.
Selanjutnya, yang keempat adalah dengan melakukan perancangan kebijakan fiskal yang cocok untuk Migas Non-Konvensional (MNK).
“Perancangan kebijakan fiskal untuk pengusahaan MNK. Pemberian skema baru kontrak GS bagi hasil tetap (fixed split) terhadap profil risiko, kebutuhan teknologi baru, dan penekanan biaya pengusahaan MNK,” paparnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti