Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo membeberkan 10 fakta tentang utang Indonesia di masa pemerintahan Jokowi. Hal ini sekaligus untuk menanggapi pernyataan mantan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang menyebut pemerintahan Jokowi membayar utang hingga Rp1.000 triliun per tahun.
"Sepuluh Fakta Keras tentang Utang Indonesia! Ini sekaligus tanggapan untuk Pak @Pak_JK dan mereka yang sering membahas nominal utang tapi sengaja mengabaikan fakta di sekitarnya. Saya kupas tuntas di Hari Lahir Pancasila!" ucap Prastowo dalam akun Twitternya, yang dikutip Sabtu (3/6/2023).
Fakta pertama, ia menegaskan bahwa pemerintah tidak mengeluarkan Rp1.000 triliun per tahun untuk membayar utang. Menurutnya, pemerintah sangat berhati-hati dan terukur agar kemampuan bayar dan kesinambungan fiskal tetap terjaga.
Baca Juga: Stafsus Menkeu Bantah Ucapan JK: RI Tak Keluarkan Rp1.000 T Per Tahun untuk Bayar Utang
"Transparan tiada yang perlu ditutupi, sudah diaudit BPK," cuitnya.
Fakta kedua, soal rasio utang terhadap PDB yang klaimnya menurun dari 39,57 persen pada Desember 2022 menjadi 39,17 persen per April 2023. Kebijakan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi memang sempat membuat rasio utang meningkat, yakni 39,4 persen terhadap PDB di 2020, lalu 40,7 persen terhadap PDB di 2021. Namun, kemampuan recovery yang baik membuat ekonomi Indonesia mampu bangkit, sekaligus menurunkan debt ratio.
"Pada 2021, rasio utang Indonesia 40,7 persen, jauh di bawah rerata emerging market. China bahkan menyentuh 71,5 persen," ungkap Prastowo.
Fakta selanjutnya, pemerintah disebutnya patuh pada aturan fiskal. Konsekuensinya, kenaikan PDB lebih besar daripada utang, di saat mayoritas negara ASEAN dan G20 mengalami kenaikan utang yang lebih tinggi dari PDB.
Fakta keempat, adanya efek pengganda yang besar dari utang. Ia menyebut pada 2018-2022, saat dunia krisis karena pandemi, utang RI mampu menghasilkan multiplier effect bagi perekonomian sebesar 1,34. Capaian ini lebih baik dibandingkan banyak negara, termasuk AS, Tiongkok, dan Malaysia.
Fakta kelima, 73 persen utang dalam bentuk rupiah lantaran berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) sehingga menekan risiko tekanan saat rupiah melemah.
Fakta berikutnya, risiko utang Indonesia menurun tajam. Hal ini ditandai dengan debt service ratio (DSR) sebesar 47,3 persen di 2020 menjadi 34,4 persen pada 2022 dan 28,4 per April 2023. DSR adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan.
Interest ratio (rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan) juga menurun, dari 19,3 persen pada 2020 menjadi 14,7 persen pada 2022 dan 13,95 persen per April 2023.
"Penurunan DSR dan IR ini menunjukkan kemampuan APBN dalam membayar biaya utang (pokok dan bunga) semakin menguat," beber Prastowo.
Fakta ketujuh, RI dipercaya mengelola utang karena lembaga pemeringkat kredit ternama memberi rating BBB/Baa2 untuk Indonesia dengan proyeksi stabil saat banyak negara mengalami turun peringkat.
Fakta kedelapan, manfaat utang lebih besar. Prastowo bilang sepanjang 2015-2022, penambahan utang sebesar Rp5.125,1, lebih rendah dibanding belanja prioritas seperti perlinsos, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, sebesar Rp8.921 triliun.
Fakta kesembilan, aset tumbuh melebihi penambahan utang. Hal ini menurutnya menunjukkan pembangunan infrastruktur terus menjadi salah satu prioritas sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi.
"Selain itu, utang juga digunakan untuk ketersediaan sarana pendidikan dan kesehatan untuk mendukung pembangunan kualitas SDM," ujarnya.
Fakta terakhir, utang BUMN bukanlah beban APBN. "Mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, segala utang yang timbul atas corporate action merupakan tanggung jawab BUMN yang bersangkutan dan bukan merupakan utang negara," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: