Banyak Negara Mulai Tinggalkan Dolar, Faisal Basri: Amerika Serikat Harus Keluar dari Zona Nyaman
Dalam upaya untuk mengurangi ketergantungan rupiah terhadap dolar AS, pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir mulai melakukan kerja sama bilateral dan multilateral melalui sebuah kebijakan yang bernama dedolarisasi.
Pada Mei lalu, pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan Bank Sentral Korea Selatan beserta beberapa negara Asia Tenggara untuk menggunakan mata uang lokal yang sudah disepakati dalam hal transaksi dan investasi.
Secara umum, tujuan utama dedolarisasi adalah untuk menciptakan stabilitas nilai tukar rupiah dan meningkatkan kedaulatan moneter. Perubahan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Bakal Geser Dolar, Bankir Rusia Lihat Tanda-tanda Yuan China Jadi Mata Uang Dunia
Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menyebut pada dasarnya mayoritas perdagangan internasional menggunakan dolar AS adalah karena keperkasaan nilai tukar dolar terhadap mata uang lain.
“Dolar itu sangat perkasa dan tidak ada yang mendekati keperkasaannya walaupun ekonomi Amerika merosotnya tajam. Kalau dulu dia sepertiga dari ekonomi dunia disumbang oleh Amerika, kalau sekarang masih tertinggi, tapi masih 20-an persen. Jadi, salah satu ciri-ciri keperkasaan suatu perekonomian negara itu ketika nilai tukarnya bergengsi,” kata Faisal, dikutip dari kanal Youtube Bisniscom pada Kamis (8/6/2023).
Ia menyebut bahwa saat ini keperkasaan dolar AS mulai digantikan oleh mata uang lain seperti euro, yen, yuan, dan lain sebagainya. Terlebih, banyak negara, misalnya seperti dalam forum ekonomi Brazil, Rusia, China, India, dan Afrika Selatan (BRICS) saat ini mulai mencari mata uang alternatif pengganti dolar AS.
“Jadi, yang bergengsi siapa saja sih? Sekarang dolar AS, nomor dua euro, nomor tiga poundsterling, nomor empat yen, mungkin nomor-nomornya di belakangnya adalah yuan. Tapi yuan digunakan dalam transaksi internasional masih relatif sedikit dan justru mereka akan menaikkan gengsi yuan dan mata-mata uang lainnya seperti yang diinisiasi oleh BRICS,” paparnya.
Ia menjelaskan bahwa keperkasaan dolar menurun karena situasi dalam negeri Amerika Serikat yang saat ini sedang defisit anggaran dan banyak utang karena membiayai Perang Rusia-Ukraina.
“Kenapa sih keperkasaan Amerika turun? Karena mereka mengimpor jauh lebih banyak dari mengekspor. Kemudian mereka tidak henti-hentinya (mengalami) defisit anggaran, perang-perang ini kan triliunan dan dibiayai oleh utang,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurutnya, situasi tersebut dimanfaatkan oleh negara-negara lain untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap dolar AS. Ia kemudian menyebut bahwa Amerika Serikat perlu keluar dari zona nyaman apabila tidak ingin tersaingi oleh negara kekuatan ekonomi lainnya.
“Lama-lama kan Amerika sendiri yang buat ulah. Mereka memblokade atau mengembargo tidak boleh pakai dolar AS. Datanglah alternatif, seperti Indonesia melarang ekspor nikel muncul alternatif baru yang namanya sodium ion yang jauh lebih murah. Kira-kira karena orang enggak mau kan di bawah ketiak Amerika Serikat. Jadi Amerika sekarang mulai harus keluar dari zona nyaman mereka karena telah terjadi perubahan konfigurasi kekuatan ekonomi,” beber Faisal.
Ia menduga bahwa pada tahun 2050, cadangan devisa negara-negara dunia mungkin hanya sepertiga yang masih menggunakan dolar AS.
“Dari 2000 ke 2022 itu kan sekitar 20 tahunan, itu turun dari 71,1 persen ke 58,4 persen. Jadi sekarang 2023 atau 2050 katakanlah, itu sudah hampir bisa dipastikan berdasarkan cadangan devisanya Amerika barangkali di sekitar sepertiganya saja,” tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: