Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Indonesia Tak Masuk Kriteria Jadi Negara BRICS, Faisal Basri: Terlalu Feminin untuk Lawan AS

        Indonesia Tak Masuk Kriteria Jadi Negara BRICS, Faisal Basri: Terlalu Feminin untuk Lawan AS Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Depok -

        Pada Mei lalu, Pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan Bank Sentral Korea Selatan dan beberapa negara Asia Tenggara untuk menggunakan mata uang lokal yang sudah disepakati dalam hal transaksi dan investasi. Hal ini merupakan upaya pemerintah dalam melakukan dedolarisasi.

        Penggunaan dolar AS sebagai mata uang utama dalam perdagangan internasional diperkirakan akan terus menurun dalam beberapa dekade mendatang. Sementara itu, pembahasan mengenai mata uang gabungan negara-negara BRICS dan penggunaan mata uang lokal dalam sistem pembayaran global sudah semakin ramai diperbincangkan

        Pada dasarnya, Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menyebut bahwa negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) merupakan negara-negara yang tidak ingin mengalami ketergantungan pada perekonomian Amerika Serikat atau bahkan Eropa.

        Baca Juga: Banyak Negara Mulai Tinggalkan Dolar, Faisal Basri: Amerika Serikat Harus Keluar dari Zona Nyaman

        “BRICS itu negara-negara yang menjaga jarak dengan Amerika dan Eropa. Jadi spirit-nya adalah enggak mau di bawah dominasi kekuatan yang kian hari kian turun. Padahal dilihat dari indikator-indikator ekonomi mereka makin melemah. Dan mereka ini negara-negara yang punya spirit menciptakan kutub baru atau kekuatan alternatif sebetulnya supaya nasib mereka tidak bergantung pada Amerika,” kata Faisal, dikutip dari kanal Youtube Bisniscom pada Kamis (8/6/2023).

        Ia mengklaim bahwa Indonesia dulu saat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mengajukan proposal untuk menjadi anggota BRICS. Namun, ia mengatakan, Indonesia terlalu ‘feminin’ atau tidak berani melawan pengaruh ekonomi Amerika Serikat.

        “Indonesia dulu itu tidak memenuhi kriteria sebagai negara yang tergabung dalam BRICS itu kalau enggak salah karena istilahnya dulu Indonesia dianggap terlalu feminin terhadap Amerika, tidak macho gitu melawan Amerika. Itu kira-kira di zaman Pak SBY,” ungkapnya.

        Selain bergabung dengan BRICS, Indonesia sebenarnya sudah berkomitmen untuk dedolarisasi dengan cara lain, yaitu dengan melakukan kerja sama dengan negara-negara ASEAN. Namun, hal ini belum bisa termanifestasikan dengan sempurna.

        “Di ASEAN sebetulnya sudah lama ini, tapi tidak jalan. Kalau sekarang mau dijalankan, dibikin mekanismenya antara itu tadi. Kalau Indonesia ekspor 100 ke Singapura, Singapura ekspor ke Indonesia 70, selisihnya 30 lagi direkonsiliasi dalam bentuk emas atau apa pun yang tidak harus dolar AS,” ujar Faisal.

        Lebih lanjut, ia heran kenapa negara-negara ASEAN lebih banyak melakukan perdagangan kepada negara non-ASEAN daripada di kawasan sendiri. Hal ini yang kemudian menyebabkan upaya dedolarisasi mengalami hambatan.

        “ASEAN ini lucu juga sih. Kalau betul-betul kita negara yang bekerja sama erat, harusnya dagang sesama kitanya jadi besar. Tapi di ASEAN ini, dagang sesama ASEAN ini cuma 21 persen dan itu turun terus. Jadi ASEAN itu lebih intensif berhubungan dagang dengan di luar ASEAN. Beda dengan Uni Eropa yang dua pertiga dari perdagangan mereka sesama mereka. Amerika juga gitu dulu, Amerika dengan Meksiko dan Kanada,” tukassnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Novri Ramadhan Rambe
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: