Indonesian Writers Inc.: Toko Buku Bisa Bertahan Kalau Menyediakan Kafe atau Aktivitas Lainnya
Di tengah masifnya teknologi digital terhadap industri perbukuan di Indonesia, belakangan toko buku di negara ini turut beradaptasi dan menghidupkan kembali aktivitas literasi dengan kegiatan yang menarik.
Dilansir dari video bertajuk “Gunung Agung Gulung Tikar. Gramedia Bagaimana?” oleh CEO dan Co-Founder Corporate Innovation Asia (CIAS), Dr. Indrawan Nugroho yang diakses pada Sabtu (10/6/2023).
Video ini membahas soal tutupnya toko buku Gunung Agung dan kabar keberlanjutan Gramedia di tengah senja kala toko buku.
Baca Juga: Toko Buku Gunung Agung Tutup, Bukti Toko Buku Sekarang Tak Punya Inovasi?
Dalam video tersebut, tren toko buku saat ini yang membuka ruang bagi komunitas, bahkan bekerja sama dengan gerai kafe dan restoran untuk menciptakan suasana menyenangkan toko buku, sekaligus menjadi tempat berkumpulnya penulis, seniman, pekerja seni, atau komunitas.
Senada dengan hal itu, CEO Indonesia Writers Inc., Wien Muldian dalam video tersebut menyatakan, “Toko buku bisa bertahan kalau dia juga menyediakan kafe atau aktivitas seperti membaca bersama-sama. Kalau hanya menjual buku dan tidak ada aktivitas yang mengikat pembeli, dia nggak bisa hidup.”
“Di dunia justru banyak toko buku baru buka, karena trennya orang kembali ke buku cetak. Kalau tidak ada tempat yang nyaman, mereka tetap membeli buku cetak, tapi secara online. Itu fenomena umum yang terjadi di mana-mana,” tambah Wien.
Melihat hal ini, Komunitas Patjar Merah sempat membuka toko fisik di Jakarta. Sedangkan di Yogyakarta, toko Buku Akik juga sukses membangun komunitas dan diadikan sebagai tempat bertemu seniman, penulis, dan pekerja seni lainnya.
Ada lagi, toko buku Gramedia juga mengadopsi hal yang sama karena terinspirasi dengan toko buku Eslite Bookstore asal Taiwan.
Toko buku Gramedia menyediakan ruang untuk temu penulis dan bedah buku komunitas, juga menghadirkan kafe supaya pengunjung dapat ngopi atau kongkow dengan komunitas. Bahkan, menjual aneka alat tulis, alat olahraga, sepeda dan lain-lain.
Lalu, ada toko buku Kinokuniya di Jepang bermitra dengan berbagai kafe dan restoran untuk menciptakan atmosfer santai dan menyenangkan bagi pengunjung.
Data dari Gramedia menunjukkan, penjualan buku online meningkat hingga 260%, nilai penjualan meningkat 226% dan penjualan buku digital meningkat 20%.
Indrawan menjelaskan, “Sebenarnya mayoritas penerbit sekarang memang sudah melakukan transformasi digital. Sebanyak 76% penerbit menjual buku melalui marketplace atau situs web sendiri.
"Namun, hal tersebut masih belum maksimal karena beberapa toko buku masih perlu mengembangkan strategi marketing media sosial supaya menjadi lebih menarik,” ujar Indrawan.
Meski begitu, buku itu sendiri dapat dijadikan sebagai konten. Seperti akun toko Buku Akik yang memiliki 379 ribu pengikut di Instagram, termasuk terbesar di Indonesia.
Menurut sastrawan Martin Suryajaya, penerbit seharusnya tidak bersikap defensif terhadap teknologi digital. Justru sebaliknya, karena disrupsi 4.0 telah menyingkap, bahwa inti bisnis perbukuan bukanlah buku, melainkan konten.
“Penerbit bukan hanya memproduksi konten, melainkan juga mengelola konten, yaitu keseluruhan rantai nilai mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi konten menjadi konten yang baru,” ujar Martin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Fajria Anindya Utami
Tag Terkait: