Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kekhawatiran Resesi di AS Semakin Terpampang Nyata, Bagaimana Dampaknya ke Pasar Saham?

        Kekhawatiran Resesi di AS Semakin Terpampang Nyata, Bagaimana Dampaknya ke Pasar Saham? Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Resesi ekonomi biasanya disebabkan oleh kejadian tidak terduga seperti perang, lonjakan harga komoditas, gagalnya sistem finansial, atau pandemi yang menyebabkan tekanan negatif bagi ekonomi dan pasar finansial.

        Namun, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia menilai bila berbeda dengan episode resesi sebelumnya yang cenderung mengejutkan, pada resesi kali ini pasar secara bertahap sudah memperhitungkan terjadinya resesi terlihat dari pelemahan indeks S&P 500 yang sudah turun 19% di 2022. 

        “Harapannya adalah dengan pasar yang sudah memperkirakan kondisi resesi dari tahun lalu, maka risiko pelemahan pasar lebih lanjut di tahun ini dapat lebih terbatas,” ujar Senior Portfolio Manager, Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma, dalam ulasannya, di Jakarta, Minggu (18/6/2023). 

        Faktor lain yang menjadi dukungan bagi pasar, lanjut Samuel, adalah harapan bahwa resesi yang terjadi adalah resesi ringan. Sektor tenaga kerja AS yang resilien dan excess saving masyarakat AS dari periode pandemi lalu dapat menjadi bantalan yang menopang tingkat konsumsi. 

        “Riset JPMorgan mengindikasikan masih terdapat excess saving USD900 miliar di masyarakat AS, dari stimulus dan tabungan yang meningkat ketika pandemi,” terangnya. 

        Baca Juga: Bertumpu Permintaan Domestik, Tak Perlu Khawatir Resesi Ekonomi Global

        Dampak resesi AS pun dinilai tak akan terlalu mempengaruhi Indonesia. Pasalnya, kondisi makroekonomi Indonesia pada posisi yang kuat menghadapi risiko resesi ekonomi AS. Berlawanan dengan kondisi AS yang melemah, Indonesia sedang dalam kondisi pemulihan ekonomi seiring pembukaan kembali ekonomi pasca pandemi Covid. Beberapa indikator ekonomi menunjukkan momentum pemulihan seperti penjualan ritel, penjualan otomotif, dan aktivitas manufaktur. Selain itu ekonomi Indonesia juga ditopang oleh pemulihan ekonomi China yang merupakan negara mitra dagang terbesar. Potensi meningkatnya permintaan dari China diharapkan dapat memitigasi risiko melambatnya permintaan dari kawasan negara maju. Ekspor kita ke China mencapai 25% dari total ekspor, lebih besar dari ekspor ke Amerika di kisaran 9%. 

        “Kondisi ekonomi Indonesia yang stabil juga menjadi faktor positif bagi arus dana asing yang sepanjang tahun ini mencatat pembelian bersih di pasar saham dan obligasi Indonesia sehingga mengurangi risiko defisit bagi neraca pembayaran Indonesia,” ucapnya. 

        Pihaknya pun melihat momentum earnings emiten tetap positif di kuartal I 2023 didukung oleh perbaikan aktivitas ekonomi. Indikasi awal mengindikasikan konsumsi di periode Lebaran tahun ini cukup positif, di mana survei penjualan eceran diperkirakan tumbuh 7% MoM, 1% YoY di April. Pertumbuhan ekonomi yang resilien akan menjadi katalis bagi pertumbuhan earnings emiten tahun ini.

        “Kami memperkirakan pertumbuhan earnings 6% untuk tahun ini, angka yang tidak terlihat fantastis, namun apabila sektor komoditas dikesampingkan dalam perhitungan, masih banyak sektor lain yang dapat mencatat pertumbuhan earnings sekitar 10% tahun ini,” jelasnya. 

        Stabilitas kondisi domestik merupakan fondasi pun mendukung kepercayaan investor terhadap pasar saham Indonesia. Dari sisi ini pihaknya melihat pasar Indonesia sangat potensial didukung faktor seperti pertumbuhan ekonomi stabil, inflasi yang menurun dan nilai tukar Rupiah yang stabil. Dari sisi global, salah satu faktor ketidakpastian telah berkurang, di mana The Fed diperkirakan sudah mencapai puncak suku bunganya sehingga dapat mendukung sentimen investor. Potensi katalis bagi pasar adalah apabila terdapat indikasi bahwa The Fed mulai mempertimbangkan untuk melakukan pemangkasan suku bunga, atau apabila terdapat indikasi bahwa pelemahan ekonomi di AS lebih terbatas dari ekspektasi pasar. 

        “Faktor lain yang dapat dipertimbangkan investor adalah tingkat valuasi pasar saham Indonesia saat ini yang atraktif. PE ratio IHSG saat ini di kisaran 13x yang masih di bawah rata-rata 15x sehingga menawarkan titik masuk menarik bagi investor,” ungkap Samuel. 

        Baca Juga: Tanda-tanda Resesi Global Mulai Muncul, Apa yang harus Indonesia Lakukan?

        Di tengah volatilitas global ini, strategi portofolio diarahkan pada sektor yang diuntungkan dari pemulihan ekonomi domestik, potensi pertumbuhan struktural jangka panjang Indonesia, dan periode puncak suku bunga. Beberapa sektor yang menangkap tema investasi ini contohnya adalah sektor finansial yang merupakan proksi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan neraca yang konservatif dibanding emiten perbankan di negara maju. “Untuk tema pertumbuhan struktural, sektor yang berhubungan dengan green economy merupakan unggulan kami karena diuntungkan dari tren jangka panjang dekarbonisasi dan meningkatnya adopsi teknologi energi terbarukan. Sementara itu sektor teknologi berpotensi diuntungkan dari strategi sebagian besar perusahaan yang saat ini lebih berfokus pada profitabilitas dan semakin jelasnya kebijakan The Fed sudah mencapai puncak suku bunga,” tutupnya. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Annisa Nurfitri

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: