Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ekspor Pasir Laut Bikin Buntung, Pengamat: Enggak Layak untuk Dilanjutkan!

        Ekspor Pasir Laut Bikin Buntung, Pengamat: Enggak Layak untuk Dilanjutkan! Kredit Foto: Antara/Fikri Yusuf
        Warta Ekonomi, Depok -

        Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut belakangan menjadi kontroversi dalam masyarakat. Pasalnya dalam aturan tersebut, Presiden Jokowi mengizinkan hasil sedimentasi berupa pasir laut bisa diekspor keluar negeri apabila kebutuhan dalam negeri tercukupi.

        Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menjelaskan dalam hal ekspor pasir laut, perlu melakukan analisis untung-rugi, bukan hanya pada aspek bisnis saja, melainkan juga aspek lingkungan. Untuk itu, perlu dikuantifikasi apakah kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sebanding dengan profit yang dihasilkan.

        “Untuk menjawab pertanyaan apakah untung atau buntung, maka perspektif yang digunakan adalah terkait dengan cost and benefit analysist. Kalau dalam bisnis yang dihitung adalah real cost, tapi kalau dalam lingkungan hidup, maka semua potensi biaya yang muncul, yang nanti terkait dengan masa-masa lingkungan, misalnya bagaimana menghitung kerugian dan kerusakan dari ekologi laut, kerusakan lingkungan, dan tenggelamnya pulau itu harus dikuantifikasi. Kemudian dibandingkan dengan benefit untuk ekspor pasir laut,” kata Fahmy, dikutip dari kanal Youtube PSLH UGM Official pada Selasa (20/6/2023).

        Baca Juga: Menteri Sakti Beber Alasan Terbitnya PP Ekspor Pasir Laut, Pakar: Aneh dan Dangkal

        Berdasarkan analisis tersebut, ia mengatakan bahwa ekspor pasir laut lebih banyak menghasilkan kerugian daripada keuntungan. Dengan demikian, ia mengatakan kebijakan ini tidak layak untuk dilanjutkan.

        “Apakah ini akan menguntungkan atau buntung, kalau semua biaya kerusakan lingkungan itu dihitung dan dikuantifikasikan, itu jauh lebih besar (buntungnya) dibandingkan dengan benefit atau profit yang diperoleh dari ekspor laut, enggak sebanding. Secara ekonomis, ini enggak feasible, enggak layak untuk dilanjutkan. Maka saya selalu mengatakan di berbagai kesempatan, batalkan izin ekspor pasir laut,” tegasnya.

        Meskipun pemerintah berdalih praktik pengerukan pasir laut akan diawasi secara ketat dan sesuai prosedur, ia mengatakan bahwa hal tersebut tidak dapat meminimalkan kerusakan ekologi yang ditimbulkan.

        Selain itu, apabila pasir laut hasil pengerukan diekspor ke Singapura dengan tujuan reklamasi, Fahmy menjelaskan bahwa hal tersebut terancam membuat daratan dan lautan Indonesia semakin mengecil.

        “Saya kira tidak bisa mereduksi karena kerusakan lingkungan akibat pengerukan pasir laut yang terjadi 20 tahun, itu enggak bisa direduksi begitu saja. Kemudian juga misalnya potensi pulau yang tenggelam, itu juga akan terjadi. Satu hal yang ironis, Singapura membeli pasir laut dan jumlahnya besar dari Indonesia untuk reklamasi yang itu memperluas daratannya Singapura. Sementara di sekitar Singapura, pulau-pulau Indonesia akibat dikeruk tadi kemudian tenggelam, ini sudah pasti akan memengaruhi luas wilayah. Saya katakan, Singapura makin meluas, daratan Indonesia makin mengerut,” jelasnya.

        Lebih lanjut, ia menyebut tanah dan air sebagai representasi sebuah negara. Dengan demikian, ia mengatakan bahwa penjualan pasir laut ke luar negeri sama saja dengan menjual kedaulatan bangsa Indonesia.

        “Menteri KP kan mengatakan, waktu diprotes menjual negara, dia mengatakan, ‘saya tidak menjual negara’. Tetapi yang dijual dalam pasir laut itu kan berupa pasir, berupa tanah dan air. Secara psikologis, tanah air itu representasi negara, ini mestinya jangan dijual dong,” tukasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Novri Ramadhan Rambe
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: