Tak Cuma Dampak Positif, Jejak Karbon pada Kecerdasan Buatan (AI) Bisa Jadi Ancaman bagi Lingkungan
Pada November 2022 lalu, kehadiran perangkat lunak ChatGPT semakin membuktikan bahwa artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan akan menjadi teknologi masa depan yang memudahkan setiap aspek dalam kehidupan manusia.
ChatGPT muncul dengan kemampuan menghasilkan teks dan konten dengan kualitas yang menakjubkan. Namun, di balik keunggulan AI ini, terdapat dampak negatif yang masih kurang disadari berbagai pihak, yaitu dampak terhadap lingkungan berupa jejak karbon yang dihasilkan.
Ilmuwan AI terkemuka di Bay Area, Yasantha Rajakarunanayake mengatakan setiap teknologi yang dihasilkan akan menyumbang jejak karbon yang signifikan pada lingkungan. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak yang dihasilkan oleh kendaraan berbahan bakar fosil, tetapi apabila digunakan oleh orang di seluruh dunia, maka jejak karbon yang dihasilkan akan terakumulasi dengan banyak pula.
Baca Juga: Teknologi Kecerdasan Buatan (AI) Makin Berkembang, Bakal Saingi Kecerdasan Manusia?
“Jadi, itulah mengapa ada begitu banyak kebingungan dan perdebatan. Tapi, kita dapat mengetahui dengan pasti bahwa setiap teknologi baru akan menggunakan lebih banyak energi, termasuk AI. Manusia cenderung mengurangi penggunaan energi mereka sebesar 1% setiap tahun, dan mereka telah melakukan itu selama 40 tahun terakhir. Saya rasa sejak tahun 1980, konsumsi energi untuk tugas tertentu telah menurun, jadi kita 36% lebih efisien dalam hal AC dan aspek lainnya. Selain itu, kita juga membuat teknologi tersebut menjadi lebih terjangkau, sehingga lebih banyak orang dapat mengaksesnya,” kata Yasantha, dikutip dari kanal Youtube Gita Wirjawan pada Kamis (22/6/2023).
Setelah dua bulan diluncurkan, ChatGPT berhasil mendulang pengguna sebanyak seratus juta. Ini artinya ada miliaran informasi yang masuk ke ChatGPT melalui alat teknologi yang menghasilkan jejak karbon.
“Jadi, AI akan melakukan hal yang sama. Setiap hari, 20 miliar tweet dikirim ke seluruh dunia. Itu akan membutuhkan energi. Sekarang bayangkan saja 20 miliar informasi tersebut menjadi informasi AI. Anda memberi 20 miliar atau bahkan 100 miliar informasi pada ChatGPT,” ujarnya.
Oleh karena itu, dengan asumsi setiap informasi yang diakses melalui ChatGPT membutuhkan energi 0,1 watt, maka hal ini tentu saja lama kelamaan akan berdampak negatif kepada lingkungan.
“Sekarang, setiap informasi tersebut mungkin membutuhkan 0,1 watt, atau setidaknya beberapa sepersekian watt. Jadi, dengan adanya semua energi tersebut, semua komputer AI ini akan mencoba menjawab semua pertanyaan konyol dari orang-orang. Itulah masalah yang kita hadapi bahwa meskipun teknologi meningkatkan produktivitas manusia, hal itu dilakukan dengan mengorbankan lingkungan,” bebernya.
Kendati demikian, Yasantha memang mengakui bahwa teknologi AI memiliki banyak keunggulan dalam praktiknya. Dengan demikian, ia berharap teknologi kecerdasan tersebut dapat memberi solusi atas masalah jejak karbon yang ditimbulkan.
“Menurut saya, AI berpotensi untuk beroperasi pada skala planet karena AI lebih pintar dari kita, AI dapat mengerjakan masalah yang lebih besar dan lebih kompleks. AI mungkin dapat menemukan solusi yang lebih efisien. Selain itu, AI juga dapat membantu Anda mengembangkan teknologi, seperti penyerapan karbon. Itulah idenya, jadi orang-orang telah mempertimbangkan ide-ide itu. Jadi, salah satu cara AI dapat membantu adalah secara tidak langsung,” tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti