Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Mengungkap Fenomena Fintech Lending dan Gagal Bayar Investree-TaniFund ke Investor

        Mengungkap Fenomena Fintech Lending dan Gagal Bayar Investree-TaniFund ke Investor Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi finansial telah banyak memberikan dampak bagi perekonomian. Berkat adanya kemajuan teknologi, transaksi simpan-pinjam yang dahulu hanya bisa dilakukan secara luring ataupun melalui bank saja, saat ini bisa dilakukan secara daring dan tidak melalui bank. Teknologi finansial tersebut adalah Fintech Lending atau Peer-to-Peer (P2P) Lending.

        Dilansir dari laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Rabu (12/7/2023), Fintech Lending atau P2P Lending atau pinjaman online adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan yang mempertemukan pemberi pinjaman (lender) dengan penerima pinjaman (borrower) dalam rangka melakukan perjanjian pinjam-meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik.

        Konsep Dasar dan Peran P2P Lending di Indonesia

        Dalam kehidupan ekonomi, selalu ada orang yang memiliki kelebihan uang dan orang yang membutuhkan uang. Selama kurang lebih 100 tahun, bank telah memerankan posisi sebagai perantara antara pemodal dan peminjam modal. Namun, seiring berkembangnya teknologi finansial, posisi perantara tersebut dapat diperankan oleh sistem yang bernama Fintech Lending.

        Baca Juga: Biar UMKM Mudah Akses Kredit, MenkopUKM Minta Perbankan Tiru Industri Fintech

        Mengutip data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), tercatat bahwa kebutuhan pinjaman atau kredit di Indonesia mencapai Rp2.600 triliun. Sementara lembaga keuangan konvensional hanya mampu menyalurkan sekitar Ro1.000 triliun saja. Artinya, masih ada gap Rp650 triliun.

        Wakil Ketua Klaster Multiguna AFPI Yolanda Sunaryo menilai bahwa kehadiran P2P lending punya peran besar dalam membantu memperkecil gap tersebut. Selain itu, P2P lending juga memberikan akses yang lebih mudah dan cepat untuk memberikan pinjaman kepada individu dan bisnis.

        “Banyak masyarakat yang pengajuan pinjamannya tidak dapat diproses oleh lembaga keuangan karena mereka tidak memenuhi persyaratan, seperti rekening bank. Demikian juga dengan hampir 50 juta UMKM yang tidak punya akses ke pinjaman,” ujarnya dikutip, Rabu (12/7/2023).

        Dikutip dari laman resmi OJK, hingga 9 Maret 2023, penyedia layanan P2P lending yang sudah berizin di OJK ada sebanyak 102 perusahaan. OJK sendiri mengimbau masyarakat untuk menggunakan jasa penyelenggara P2P lending yang sudah berizin OJK.

        Alokasi Pendanaan, Imbal Hasil, dan Risiko

        Seperti halnya bank konvensional, dalam fintech lending, lender akan mendapatkan imbal hasil dari bunga kompetitif yang diberikan oleh borrower. Namun, biasanya, bunga yang ditawarkan oleh platform tersebut lebih besar dari bank konvensional. Terdapat tiga alokasi pendanaan yang paling umum dalam sistem P2P lending, yaitu utang produktif, utang konsumtif, dan invoice financing.

        Utang produktif adalah utang yang dipakai untuk hal-hal yang bisa menghasilkan nilai tambah di masa depan atau secara sederhana disebut utang untuk modal usaha. Di platform P2P lending, ada banyak pilihan untuk utang produktif, seperti pinjaman untuk UMKM.

        Sementara utang konsumtif dipakai untuk hal-hal yang bersifat konsumsi, baik untuk kebutuhan maupun keinginan. Dalam P2P lending, utang konsumtif biasanya digunakan peminjam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya menikah, dan lain sebagainya.

        Sedangkan invoice financing sendiri adalah alokasi pendanaan untuk sebuah usaha yang akan mengerjakan suatu proyek, tetapi tidak memiliki cukup modal dengan menggunakan piutang atau invoice sebagai jaminannya. Sehingga, pembayaran pinjaman akan dilakukan setelah proyeknya selesai.

        Setiap alokasi pendanaan memiliki imbal hasil dan risikonya masing-masing. Seperti investasi pada umumnya, semakin tinggi risikonya, maka akan semakin besar pula imbal hasilnya. Dari ketiga alokasi tersebut, yang memiliki imbal hasil tertinggi adalah utang konsumtif, lalu diikuti oleh utang produktif dan invoice financing.

        Invoice financing merupakan alokasi pendanaan yang paling diminati investor karena dinilai tidak terlalu berisiko dibandingkan dua alokasi pendanaan lainnya.

        Dibandingkan dengan instrumen lain, P2P lending termasuk kategori investasi tinggi risiko. Terdapat dua risiko, yaitu telat bayar dan gagal bayar. Telat bayar terjadi jika peminjam tidak bisa membayar pinjamannya tepat waktu, sedangkan gagal bayar terjadi jika peminjam sudah tidak mampu untuk membayar pinjamannya.

        Fenomena Gagal Bayar Fintech Lending ke Investor

        Belakangan ini banyak penyedia layanan P2P lending yang dikabarkan mengalami gagal bayar pinjaman kepada lender hingga ratusan hari. Hal ini dikarenakan banyaknya peminjam atau borrower yang usahanya mengalami kegagalan selama masa pandemi lalu.

        “Kemarin itu (peminjam) sebelumnya punya track record yang baik. Karena ada Covid-19 kemudian terimbas krisis, sehingga mengalami gagal bayar. Intinya adalah historical mereka nasabah baik,” ujar Triyono, Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan OJK pada acara Sosialisasi UU PPSK di Jakarta (13/6/2023).

        Salah satu platform yang dikabarkan gagal bayar adalah PT Investree Radhika Jaya (Investree). Dikutip dari Detik.com, Rabu (12/7/2023), Raka, salah satu lender yang menjadi korban gagal bayar tersebut, mengungkap bahwa Investree terlambat mengembalikan uang yang dipinjamkannya.

        Ia menambahkan, Investree telah gagal bayar lebih dari 200 hari sejak tanggal jatuh tempo pinjaman tersebut. Ia pun sempat mengirimkan pertanyaan soal dananya tersebut kepada platform Investree melalui email.

        “Saya sempat follow up bulan April awal. Mereka bilang (akan selesai) akhir April, tapi saya follow up lagi bulan Mei, bilangnya Mei Akhir,” bebernya.

        Hal serupa juga terjadi di PT Tani Fund Madani Indonesia (Tanifund), yang dikabarkan gagal bayar kepada 128 investor dengan total nilai investasi kurang lebih Rp14 miliar. Investasi yang pertama kali ditawarkan pada tahun 2019 tersebut dikabarkan telah berhenti mengembalikkan uang pokok pinjaman ke lender sejak 2021.

        “Sejak November 2021 hingga sekarang, para korban gagal bayar Tanifund sudah tidak menerima lagi pengembalian pokok modal dan hanya menerima hasil atau return dari investasi yang dilakukan di Tanifund,” jelas Herdi Syahputra Purba, kuasa hukum korban gagal bayar Tanifund, dikutip dari Kontan, Rabu (12/7/2023).

        Triyono merespons permasalahan tersebut dengan menekankan bahwa penting bagi investor untuk mengetahui syarat dan ketentuan sebelum memutuskan untuk berinvestasi di platform fintech.

        “Jadi, sebetulnya setelah kita teliti lagi (gagal bayar) memang terkait dengan investor yang belum terlalu paham bagaimana berinvestasi di dunia fintech. Oleh karena itu, pesan saya adalah bagi yang ingin masuk ke dalam dunia fintech, pahami dulu bagaimana kondisinya,” tukasnya.

        Berdasarkan data Statistik Fintech Lending periode Mei 2023 yang dipublikasikan OJK pada Senin (3/7/2023), OJK mencatat outstanding pinjaman macet lebih dari 90 hari di industri fintech P2P lending pada kategori perseorangan mencapai Rp1,73 triliun per Mei 2023. Jumlah tersebut meningkat 113,25 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp810,74 miliar.

        Sementara rasio tingkat keberhasilan bayar 90 hari (TKB90) fintech lending ini secara agregat berada di angka 96,64 persen. Dengan demikian, tingkat risiko kredit secara agregat atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) berada di angkat 3,36 persen per mei 2023. Angka tersebut naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yakni 2,82 persen, sehingga menyebabkan banyak masyarakat umum, terutama lender, yang mengkhawatirkan performa fintech lending.

        Untuk diketahui, TKB90 merupakan tingkat keberhasilan penyelenggara P2P lending dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban pinjam meminjam dalam jangka waktu 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. Sementara TKW90 atau lebih dikenal dengan Non-Performing Loan (NPL) atau gagal bayar adalah ukuran tingkat wanprestasi atau kelalaian penyelesaian kewajiban di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo.

        Upaya Mitigasi Gagal Bayar kepada Investor Fintech Lending

        Sebagai upaya meminimalisasi terjadinya gagal bayar ke investor, OJK mendorong perusahaan fintech untuk menerapkan credit scoring dalam aktivitas bisnisnya. Peraturan OJK (POJK) juga sudah mewajibkan adanya penyaringan risiko dari masing-masing fintech untuk mengetahui profil peminjam.

        “Harus ada filtering risiko dari masing-masing fintech lending. Mereka membantu membuat profil risikonya dengan credit scoring dan sebagainya. Tetapi tetap saja tidak boleh 100% mengandalkan itu. Jika ada sebuah service yang baik di luar yang lebih akurat melakukan credit scoring, kenapa tidak?” ujar Triyono.

        Credit scoring atau penilaian kelayakan kredit calon nasabah diperlukan untuk memastikan institusi keuangan memberikan layanan pinjaman dana pada orang yang tepat. Semakin tinggi credit score nasabah, maka risiko investasinya semakin tinggi.

        Baca Juga: Puluhan Lender Gugat Fintech iGrow Milik LinkAja, OJK hingga Menkominfo

        Dalam prosesnya, sistem credit scoring menggunakan berbagai histori dan profil data yang dimiliki oleh nasabah dari transaksi-transaksi yang ada sebelumnya. Salah satu caranya bisa dilakukan dengan mengakses Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) di OJK atau dulu disebut dengan BI-Checking.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: