Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pakar Hukum & Pers: Rancangan Perpres tentang Jurnalisme Berkualitas Adalah Langkah Antidemokrasi

        Pakar Hukum & Pers: Rancangan Perpres tentang Jurnalisme Berkualitas Adalah Langkah Antidemokrasi Kredit Foto: Rawpixel
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kendati masih banyak kontroversi, tampaknya Peraturan Presiden (Perpres) tentang "Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas" terus didorong dan segera disahkan.

        Menurut pakar hukum dan etika pers, Wina Armada Sukardi, seperti yang dilansir pada Minggu (30/7/2023), alasan-alasan yang dikemukakan, mereka berharap, terdapat kepastian karya pers yang didistribusikan melalui algoritma adalah benar-benar yang berkualitas. Harapan lainnya, Perpres ini mampu memberikan pendapatan adil bagi media atas platform digital. Dengan begitu, pendapatan lebih distributif dan adil.

        Baca Juga: Polri Sampaikan Komitmen Jaga Kemerdekaan Pers dan Independensi Jurnalis

        "Lewat Perpres ini pula digadang-gadang hanya pers yang berkualitas saja yang bakal disebarluaskan oleh perusahaan platform digital. Dalam alur pikir para pendukung Perpres ini, sebagai konsekuensinya, perusahaan-perusahaan pers yang dinilai 'tidak berkualitas' distribusinya menjadi terbatas dan bakal menghadapi banyak kendala," jelas Wina dalam keterangan tertulisnya.

        Wina beralasan, jika Perpers disahkan, platform digital seperti mesin pencari Google berpotensi tidak dapat langsung mencantumkan berita dari perusahaan pers semacam itu. Hal ini menyebabkan masalah tersendiri karena perusahaan platform nantinya wajib menjalin kerja sama dengan perusahaan pers "pemilik" berita sebelum menyiarkan karya pers atau disebut publishers rights.

        "Selama ini sebagian konten dari perusahaan pers online atau digital, isinya sekitar 70%-80% mengutip dan mengambil data dari perusahaan platform digital secara gratis. Dalam keadaan demikian saja, perusahaan pers masih kembang kempis, bahkan tekor," tambahnya.

        Wina menjelaskan, dengan publisher rights, perusahaan pers punya hak untuk dibayar terhadap produk-produk yang dihasilkan. Maka, perusahaan penyebar informasi atau platform digital wajib membayar kepada perusahaan pers setiap menyiarkan berita dari perusahaan pers.

        "Kabarnya dalam proses penggodokan Perpres ini, semua pihak yang terkait sudah dilibatkan. Sudah didengarkan. Dari situ pula terkuak, sejatinya, masih banyak perbedaan prinsipil dari para pihak. Masih ada keraguan dari beberapa pihak, rancangan Perpres ini bakal benar-benar mampu menghasilkan ekosistem yang kondusif menjaga kemerdekaan pers," terang Wina.

        Wina menjelaskan contoh Google, yang mereka nilai rancangan yang diajukan justru masih akan berdampak negatif pada ekosistem berita digital yang lebih luas. Bahkan, beberapa organisasi wartawan seperti AJI, AMSI, dan lainnya, membuat petisi menolak draf Perpers ini.

        Walaupun demikian, naskah rancangan Perpres tersebut akan dikirim Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ke Presiden Joko Widodo untuk segera ditandatangani. Setelah terjadi pergantian Menkominfo, rancangan Perpres ini malah dipercepat untuk sampai di meja presiden.

        Wina juga merinci, Perpres kontradiktif dengan filosofi UU Pers No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang isinya tidak ada satu pihak pun yang boleh mencampuri urusan pers. Pers ditempatkan sebagai lembaga independen, memiliki ketentuan tersendiri untuk melaksanakan kemerdekaan, dan membuat regulasi soal pers.

        Sementara itu, judul Perpres menunjukkan bahwa seharusnya pers telah menyerahkan dan mengandalkan proses peningkatan kualitas pers kepada perusahaan platform digital. Inilah letak kontradiksinya.

        Baca Juga: Pemerintah Tetapkan Aturan Baru Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau, Simak!

        "Perusahaan platform digital bukanlah perusahaan pers atau badan hukum jurnalistik. Mereka perusahaan yang menyediakan saluran pipa informasi dari seluruh pihak di seluruh dunia. Dari mana pun. Perusahaan platform digital sama sekali tak terkait langsung dengan pembuatan karya-karya pers. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak memiliki wartawan," ujar Wina serius.

        Wina juga mempertanyakan mengapa Perpres membuat media perlu menyerahkan dan mengandalkan kualitas karya pers atau jurnalistik terhadap perusahaan platform digital yang tidak punya kompetensi soal karya jurnalistik berkualitas.

        Perpres akan mencampuri urusan pers

        Wina memaparkan, jika Perpres disahkan, pers telah memberikan sebagian kewenangan kepada presiden. Pemerintah, baik presiden atau aparatnya menurut UU Pers selama ini, tidak diperkenankan ikut campur. Namun, dengan adanya rancangan Perpres, pintu pada pemerintah terbuka untuk mencampurinya, termasuk mengatur dunia pers yang dalam UU Pers tidak diperbolehkan.

        "Adanya Perpers ini…, pemerintah membuat berbagai regulasi di bidang pers. Dengan kata lain, Perpers ini merupakan undangan terbuka kepada perintah untuk 'cawe-cawe' di dunia pers. Sekali pemerintah diizinkan masuk ke dalam dunia pers, sejarah telah membuktikan, betapa pemerintah (siapa pun) bakal tergiur untuk menciptakan 'pers yang berkualitas dalam mendukung pemerintah'," tegas Wina.

        "Pers bakal dikebiri. Pers dibuat mandul! Ini jelas kontradiktif yang terang benderang," pungkasnya. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Nadia Khadijah Putri
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: