Upaya Jaga Ketahanan Pangan Dunia Alami Stagnasi, Langkah India dan Rusia Picu Kekhawatiran Global
Laporan bertajuk The 2023 State of Food Insecurity and Nutrition in the World yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada 31 Juli 2023 menyoroti keadaan kelaparan global dan kerawanan pangan serta tantangan dan peluang yang dihadirkan urbanisasi dalam konteks sistem pertanian pangan.
Laporan tersebut menyoroti 3 isu yang terjadi dalam perkembangan upaya menjaga ketahanan pangan di dunia. Pertama, kondisi kerawanan pangan dan gizi mengindikasikan stagnasi kemajuan dalam mengurangi kelaparan.
Baca Juga: Ukraina Minta Bursa Kripto Lokal Sediakan Informasi Laporan Keuangan
Kelaparan global yang diukur menurut prevalensi kekurangan gizi, relatif tidak berubah dari tahun 2021 hingga 2022, tetapi masih jauh lebih tinggi daripada sebelum pandemi.
Sekitar 9,2 persen populasi dunia menghadapi kelaparan pada tahun 2022, dibandingkan dengan 7,9 persen pada tahun 2019. Antara 691 juta dan 783 juta orang mengalami kelaparan pada tahun 2022, 122 juta lebih banyak dibandingkan tahun 2019.
Awal invasi Rusia ke Ukraina mengirimkan gelombang kejutan melalui ekonomi global, memperlambat pemulihan yang dimulai pada tahun 2021. Produk domestik bruto global tumbuh sebesar 3,4 persen pada tahun 2022, 1 poin persentase lebih lambat dari yang diperkirakan.
Perang di Ukraina secara signifikan memengaruhi pasar pangan dan pertanian global, karena Rusia dan Ukraina adalah produsen dan pengekspor utama komoditas pertanian. Hal ini menyebabkan lonjakan harga pangan internasional, dengan Indeks Harga Pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada Maret 2022.
"Biaya impor makanan naik, mempengaruhi negara-negara yang sangat bergantung pada impor makanan, dan impor makanan dunia mencapai rekor tertinggi hampir USD2 triliun, didorong oleh harga yang lebih tinggi. Kenaikan harga makanan dan input berkontribusi terhadap inflasi secara keseluruhan, dengan inflasi utama global melebihi 9 persen pada paruh kedua tahun 2022," ungkap laporan tersebut, dikutip dari World Bank, Kamis (3/8/2023).
Meskipun pemulihan ekonomi pada tahun 2022 meningkatkan pendapatan rumah tangga dan akses ke makanan untuk sebagian orang, harga makanan yang lebih tinggi dan inflasi menurunkan akses ke makanan lainnya, khususnya rumah tangga termiskin. Akibatnya, kelaparan global tetap jauh di atas tingkat pra-pandemi di semua wilayah.
"Diproyeksikan bahwa pada tahun 2030, hampir 600 juta orang akan mengalami kekurangan gizi kronis, menyoroti tantangan signifikan untuk memberantas kelaparan, khususnya di Afrika," tulisnya.
Kerawanan pangan sedang atau parah memengaruhi 29,6 persen populasi global (2,4 miliar orang) pada tahun 2022, dengan 11,3 persen mengalami kerawanan pangan yang parah.
Isu kedua yakni kemunduran Rusia dari Black Sea Grain Initiative (BSGI) yang menimbulkan kekhawatiran di pasar global.
Pada 17 Juli 2023, Rusia mengumumkan tidak akan memperbarui keanggotaannya di BSGI. Inisiatif tersebut, yang ditengahi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Turkiye, telah memungkinkan Ukraina untuk melanjutkan ekspor biji-bijian dan biji minyaknya setelah invasi Rusia.
"Sejak ditandatangani pada Juli 2022, BSGI telah memfasilitasi ekspor 33 ton biji-bijian dan minyak sayur, dengan 57 persen dari ekspor ini mencapai negara-negara berkembang dan negara-negara yang secara tradisional bergantung pada produk pertanian Ukraina. Perjanjian tersebut bermanfaat bagi petani Ukraina dan pasar makanan global," kata laporan.
Keputusan Rusia untuk tidak memperbarui BSGI telah menimbulkan kekhawatiran tentang dinamika perdagangan dan stabilitas regional di masa depan.
Ketiga, India memutuskan memberlakukan larangan ekspor untuk kategori beras non-basmati. Pada tanggal 19 Juli, untuk memastikan ketersediaan beras putih non-basmati dan membatasi kenaikan harga di pasar domestik, pemerintah India memberlakukan kebijakan larangan ekspor beras putih non-basmati.
Baca Juga: Negara di ASEAN Harus Tingkatkan Konektifitas Demi Ketahanan Energi di Kawasan
Meskipun larangan ekspor kemungkinan besar akan menurunkan harga dalam negeri bagi konsumen dan produsen, karena India adalah pengekspor beras dominan dunia -mencakup hampir 40 persen pasar beras global-, hal itu dapat menyebabkan kenaikan harga dunia yang cukup besar dan menyebabkan ketidakstabilan harga.
Larangan ekspor datang pada saat meningkatnya kekhawatiran global tentang harga pangan global setelah keluarnya Rusia dari BSGI. Langkah ini telah memicu kekhawatiran tentang potensi eskalasi inflasi pangan global.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ayu Almas
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: