Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Siasat Mattel Usai Penjualan Barbie Anjlok selama 10 Tahun: Sadari Kesalahan

        Siasat Mattel Usai Penjualan Barbie Anjlok selama 10 Tahun: Sadari Kesalahan Kredit Foto: Instagram Barbie
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sejak kemunculannya, Barbie tidak lepas dari sorotan dan kritik. Salah satu kritik yang paling sering muncul adalah terkait citra tubuh. Bentuk tubuh Barbie yang sangat ramping kerap kali menimbulkan kontroversi, sehingga Barbie dianggap mendorong standar kecantikan yang tidak realistis.

        Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa bermain dengan boneka Barbie dapat meningkatkan keinginan anak perempuan untuk memiliki tubuh yang lebih ramping serta berpotensi menurunkan rasa percaya diri mereka.

        CEO dan Co-founder Corporate Innovation Asia (CIAS), Indrawan Nugroho menjelaskan bahwa boneka Barbie menjadi masalah serius karena banyak anak perempuan yang menganggapnya sebagai standar ideal dari seorang perempuan.

        Baca Juga: Bertahan hingga 64 Tahun, Barbie Jadi Budaya Pop Global

        “Jika diukur dengan standar tubuh manusia, Barbie termasuk dalam kategori anoreksia. Hal ini dapat memicu berbagai masalah serius, seperti pola diet yang enggak sehat dan juga kurang rasa cinta terhadap tubuh mereka sendiri,” jelas Indrawan, dikutip dari kanal Youtube-nya pada Jumat (4/8/2023).

        Selain itu, Barbie juga kerap dikritik karena representasinya yang bias terhadap kulit putih. Sebagai boneka yang populer di seluruh dunia, Barbie seharusnya dapat mewakili berbagai ras dan warna kulit. Hal itu dianggap akan menanamkan sikap rasialisme dan bias kecantikan yang hanya dimiliki oleh perempuan berkulit putih.

        “Selama beberapa dekade sejak peluncurannya, Barbie umumnya digambarkan dengan kulit putih. Barbie juga dinilai hanya berfokus pada penampilan fisik perempuan. Barbie kurang menghargai aspek yang lebih substantif pada diri seorang perempuan,” tuturnya.

        Mattel sebagai perusahaan produksi boneka Barbie ternyata kurang responsif terhadap hal tersebut. Mereka lambat dalam merespons perubahan tren dan juga minat konsumen. Kelambanan respons Mattel akhirnya berdampak pada penjualan produksi Barbie.

        “Penjualan Barbie selama 10 tahun berturut-turut terus anjlok. Barbie yang dianggap sebagai icon emansipasi perempuan ternyata justru memperkuat anggapan bahwa kecantikan perempuan hanya dilihat dari tampilan fisiknya saja, yang itu pun dianggap kurang realistis dan juga menampilkan bias warna kulit,” tegas Indrawan.

        Mattel akhirnya menyadari kesalahannya, maka pada tahun 2016 mereka meluncurkan seri Barbie Fashionistas. Seri ini meluncurkan boneka Barbie dengan berbagai tipe tubuh, etnisitas, dan gaya rambut. Barbie berusaha untuk merepresentasikan keberagaman dunia yang nyata dan meningkatkan rasa percaya diri pada anak-anak yang berbeda-beda.

        “Seri ini menampilkan Barbie dengan bentuk tubuh yang beragam dan lebih mewakili realitas. Keberagaman ini dimaksudkan untuk menawarkan alternatif terhadap figur Barbie lama yang sangat ramping,” imbuhnya.

        Mattel juga menjalankan kampanye ‘Barbie You Can Be Anything’. Pada materi kampanye itu ditekankan pesan pemberdayaan perempuan dan nilai-nilai positif. Melalui kampanye ini, Mattel berusaha untuk mengalihkan fokus dari penampilan fisik semata dan menekankan pentingnya imajinasi kreativitas dan semangat untuk mengejar impian.

        “Melalui strategi ini ternyata berhasil. Penjualan bruto boneka Barbie di seluruh dunia naik 87%,” pungkasnya.

        Baca Juga: Belajar Etika Pemasaran Produk di Media Sosial Agar Bisnis Makin Cuan

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Nevriza Wahyu Utami
        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: