Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kenapa Hilirisasi Dapat Dukung Ekosistem Baterai dan Mobil Listrik?

        Kenapa Hilirisasi Dapat Dukung Ekosistem Baterai dan Mobil Listrik? Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Deputi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto mengatakan pentingnya membentuk ekosistem baterai dan mobil listrik, sehingga industri pertambangan nikel tidak dilihat sebagai per komoditas, melainkan ekosistem industri menghasilkan produk yang kompetitif dan efisien. 

        “Sekarang yang menjadi hot itu, bagaimana membentuk ekosistem baterai dan mobil listrik. Ini yang sebenarnya diperintahkan oleh Bapak Presiden [Joko Widodo], yang meminta untuk tidak melihat hilirisasi ini sebagai komoditas per komoditas. Ini harus jadi suatu ekosistem industri,” ujar Seto di kanal YouTube Rhenald Kasali bertajuk Serang Balik! Dibela Tangan Kanan Luhut sampe Ditahan Elon Musk | Intrigue #08 yang dilansir pada Minggu (27/8/2023). 

        Seto melanjutkan, ekosistem industri tersebut bisa menggunakan sumber energi hijau yang negara miliki. Ditambah lagi, industri nikel melibatkan banyak investor asing selain China, seperti Amerika Serikat (Ford), Taiwan, India, dan sebagainya, yang membutuhkan nikel untuk pasokan produksi mobil listrik.

        Baca Juga: Subsidi Kendaraan Listrik: Prioritas Salah di Tengah Krisis Ekonomi Rakyat

        Di samping itu, Seto juga memaparkan bahwa nikel yang selama ini diproduksi dalam kadar rendah, sekarang banyak dicari, sebabnya dianggap lebih efisien sebagai bahan baku baterai mobil listrik.

        “Bayangkan kalau dulu saya mau menambang nikel, yang kadar tinggi itu ada di bawah, yang kadar rendah itu ada di atas. Jadi kalau saya menambang nikel kadar tinggi, ya sudah saya buang ke talang yang kadar rendahnya. Sekarang, untuk ambil nikel kadar rendah, saya dibayar dan saya bisa jual ini,” cerita Seto untuk menganalogikan sirkulasi perdagangan nikel untuk baterai mobil listrik. 

        Lantas, bagaimana dengan angka ekspor nikel Indonesia yang harganya berbeda dengan pasar internasional? Seto mengklarifikasi, sebelumnya, Indonesia sempat melakukan ekspor bijih nikel terbesar ke China, dan kemudian dilarang pemerintah pada tahun 2020 hingga sekarang. Maka, harga internasional naik karena pasokan bijih nikel Indonesia yang hilang. Alhasil, smelter-smelter nikel di China mengandalkan pasokan dari Filipina dan beberapa negara lain.

        “Waktu Indonesia buka ekspor nikel tahun 2018, berapa sih perbedaan harganya dibandingkan dengan sebelumnya? Kalau misalnya dibuka, berarti kan pasokannya bertambah, otomatis pasti harga turun. Waktu kami uji di data, pada tahun 2018-2019, ternyata selisihnya hanya US$5–US$6 pada waktu pasar terbuka,” beber Seto.

        Karena itulah, perbedaan antara harga nikel internasional dan Harga Patokan Mineral (HPM) yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) akan lebih kecil. 

        “Saya ingat waktu itu Kementerian ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 11 tahun 2020 yang tidak boleh [pasang harga internasional], harus mengikuti harga ini (HPM). [Jadi sekarang] smelter bayar di atas harga pasar yang Indonesia tetapkan, bisa US$10–US$13 lebih tinggi dibandingkan harga internasional,” lanjut Seto.

        “Ini harus fair, jangan sampai penambang-penambang lokal itu dizalimi,” pungkasnya. 

        Baca Juga: Siapa yang Nikmati Sumber Daya dan Keuntungan Hilirisasi Nikel?

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Nadia Khadijah Putri
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: