CEO Dapur Cokelat, Silvano Christian menceritakan pengalamannya selama merangkul tim dan mendekatkan diri kepada pelanggan setia. Baru-baru ini, Dapur Cokelat akan membuka titik penjualan (delivery points) di area perkantoran Jakarta. Bagaimana strateginya agar legenda cokelat 20 tahunan ini tetap bertahan dan relevan di pascapandemi? Berikut wawancaranya.
Saat ini, bagaimana pandangan Anda terhadap industri cokelat dan trennya di Indonesia, khususnya produk olahannya seperti yang diproduksi Dapur Cokelat?
Dari riset yang kami lakukan secara internal, sebetulnya memang sekarang kan—mungkin kita semua yang ada di ruang wawancara ini—top of mind rasa ketika mau membeli sebuah produk, itu cokelat ya. Jadi, makanya dari Dapur Cokelat sendiri, banyak produk yang diunggulkan dan mengandung cokelat. Makanya nama brand kami sendiri juga Dapur Cokelat.
Untuk terkait konsumsinya sendiri, sebenarnya dari saya melihat, memang pasti akan meningkat. Karena sekarang orang yang tadinya banyak melakukan aktivitas konsumsi hanya di rumah, tadinya mengemil atau snacking semua di rumah, sekarang sudah mulai bisa keluar. Sehingga, pasti konsumsi untuk berbagai macam produk cokelat itu seharusnya meningkat dari keseluruhan pasarnya sendiri. Dari pelanggan sendiri punya lebih banyak keleluasan opsi daripada dulu pada saat mereka stuck di rumah pada saat pandemi ya, work from home (WFH).
Baca Juga: Dapur Cokelat Berkembang dengan Tjufoo, CEO: Mereka Bantu Kami Jadi Data-Driven
Kolaborasi menjadi kunci untuk membawa cokelat Indonesia mendunia atau naik kelas. Dengan siapa Dapur Cokelat saat ini bermitra, selain dengan Tjufoo?
Dari saya melihatnya, memang satu yang kami lakukan dengan Tjufoo saat ini adalah brand Dapur Cokelat adalah sebuah brand lokal Indonesia yang sudah berdiri sejak tahun 2001. Jadi 22 tahun sekarang. Heritage brand yang cukup lama. Mungkin sudah cukup banyak banget tahu.
Mengenai bergabungnya Tjufoo ke Dapur Cokelat. Menurut saya secara personal, banyak bantuan dari mereka. Kalau dari sudut pandang saya ya mungkin sudah, mungkin enggak cukup kalau disebutkan. Ketika kami ketika bekerja di sebuah perusahaan ya, kami memanfaatkan informasi seperti yang kami lakukan di perusahaan tersebut. Banyak hal yang salah satu studi kasusnya, kalau di perusahaan-perusahaan banyak anak-anak yang baru masuk, mereka sangat idealis ya. Banyak ide-ide liar yang kalau misalkan kami sendiri dari dalam perusahaan, enggak kepikiran nih.
Nah, saya pikir Tjufoo membantu kami lebih banyak secara spesifik, banyak tim yang ikut membantu kami di sini, yang kalau misalkan kami hanya kerja internal di tim kami sendiri, banyak hal yang mungkin enggak banyak lah, pasti ada hal yang terlewat nih. Mereka membantu kami untuk mengaktifkan dari hal-hal yang mungkin dari sisi kami terlewat.
Produk olahan Dapur Cokelat tentu menggunakan cokelat Indonesia, kebanyakan berasal dari mana saja provinsi yang menyuplai untuk Dapur Cokelat?
Kami memakai cokelat lokal dan kami bukan produsen cokelat, tapi kami pengolah, mengolah dari cokelat menjadi sebuah produk yang ada nilai tambahnya dari cokelat tersebut sendiri ya.
Jadi, kami bukan sebuah produsen cokelat begitu. Kita enggak punya lahan perkebunan, kami enggak punya pabrik untuk membuat cokelat tersebut sendiri.
Satu yang kami bisa katakan bahwa sekarang cokelat yang kami gunakan cokelat Indonesia. Dibuat khusus atau customized untuk kami dari pemasok. Tapi kalau untuk pemasoknya dari mana, sejauh ini kami kalau boleh, enggak share dulu.
Cokelat masih menjadi favorit konsumen, seperti apa rencana Dapur Cokelat untuk memenuhi ekspektasi konsumen di paruh tahun 2023?
Satu poin besar pada saat kami menghadapi pandemi kemarin, kami banyak rencana ekspansi menggunakan titik penjualan (delivery point) yang mungkin Warta Ekonomi sendiri juga melihat, mulai banyak buka toko kecil-kecil seperti outlet begitu. Dari sisi F&B pada saat pandemi, banyak bergantung pada pengantaran daring (online deliveries) ya. Banyak teman-teman kami yang dari penyedia ride hailing seperti Gojek/Grab yang mungkin bantu untuk pengantaran makanan. Oleh karena itu, kami banyak buka dan mendekat ke perumahan.
Nah, mungkin kalau Warta Ekonomi juga sadari, kami melihat tren pasar, bahwa dulu orang kan dipaksa di rumah dan sekarang sudah diminta untuk kembali ke kantor ya, banyak pesan-pesan diminta untuk kembali ke kantor, di mana kami lihat macet banget Jakarta sekarang. Makanya kami sekarang sisi on the strategy side, satu, delivery point dulu kan cuma fokusnya mendekat jangkauan pelanggan [area perumahan]. Nah sekarang kami mau buat tampilannya lebih baru dan lebih banyak mendekat ke area perkantoran.
Jadi kalau bisa dilihat, beberapa titik kami terakhir pada saat pembukaan di bulan sebelumnya, yes, kalau salah double check ya, itu di bulan ini dan bulan kemarin itu kami buka di Sudirman Central Business District (SCBD), Thamrin, Bendungan Hilir. Jadi mendekat ke gedung-gedung perkantoran, yang pelanggan kami sekarang harus ada di kantor ya. Mungkin dulu perayaan-perayaannya harus di rumah di kiriman-kiriman. Sekarang dirayakan di kantor bersama teman-teman.
Jadi satu, kami mendekat ke pelanggan yang dulu di perumahan, sekarang kami mendekat di kantor.
Kedua, mungkin ya kalau di paruh tahun kedua ini, ya pasti kemarin kami ada event promo Agustus. Kami berikan promo besar untuk pelanggan dan di akhir tahun nanti, ya pasti semua kebanyakan menuju Natal. Orang-orang kirim-kiriman hampers, kue-kue, begitu kan. Jadi kami seperti biasa membuat produk yang memang spesifik untuk Natal dan yang mungkin bisa sedikit diangkat, kami banyak jualan produk yang chocolate sculpted, jadi 100% cokelat. Kami membuat bentuk-bentuknya, mungkin seperti pohon natal, snowman. Jadi itu semua terbuat 100% dari cokelat yang unik dan selalu berbeda setiap tahunnya, sehingga pelanggan enggak bosen.
Soal kolaborasi Dapur Cokelat dengan Tjufoo, bagaimana perkembangannya setelah bergabung?
Kami datang dari perusahaan keluarga, karena memang kami dulu banyak bekerja berdasarkan intuition driven, mungkin sudah ada data driven, tapi sedikit tim lah yang anak-anak yang masih muda atau mungkin dari dari tech startup punya perusahaan bergabung ke kami, beberapa sudah mulai pindah ke keputusan berbasis data.
Nah dengan kami bergabung ke Tjufoo, pertama, kami mendapatkan eksposur buat mulai pindah, mungkin dulu kami pakai intuisi saja, tapi sekarang kami menerapkan keputusan berbasis data secara penuh. Sehingga, kami memanfaatkan semua data yang kami punya di backend, kami buat analisa pengambilan keputusan dari semua lini yang ada di Dapur Cokelat.
Dari sisi lain, kami sudah mulai mendapatkan eksposur untuk melakukan riset pasar. Makanya lebih banyak nyambung ke data. Karena sedikit banyak, data bakal banyak membantu kami untuk melihat kebutuhan pelanggan sendiri itu apa.
Kan kami belum terlalu lama kita bergabung di Tjufoo, tapi kami telah merasakan dampak yang mereka lakukan dengan membantu kami bergeser ke perusahaan yang mengambil keputusan berbasis datalah (data-driven company).
Indonesia masih masuk sebagai negara penghasil sampah makanan kedua di dunia selain Arab Saudi, lantas bagaimana strategi Dapur Cokelat untuk mengurangi atau mengatasi sampah makanan?
Mungkin ada perbedaannya begini, yang mungkin kalau banyak sampah makanan itu menurut saya, restoran, apa lagi ya, mungkin restoran yang makanan-makanannya, atau bahan bakunya itu benar-benar perishable, yang enggak tahan lama. Sedangkan kalau di industri kue, mungkin ya Warta Ekonomi sendiri juga kalau beli kue, taruh di kulkas, lupa makan seminggu juga masih tahan kan ya? Meskipun kami enggak merekomendasikan setelah seminggu itu untuk dimakan, ya mungkin rasanya pasti sudah berubah ya, karena untuk life-cycle kue itu enggak direkomendasikan selama itu.
Tapi akhirnya, sebenarnya produk-produk kami sendiri, sebagian besar, itu bisa bertahan lama, karena memang disimpan, baik di chiller atau freezer. Nah, jadi untuk kami sendiri, sampah makanan itu sangat minim. Misalnya ada garnache yang lebih diproduksi hari ini, itu bisa disimpan di chiller atau freezer, dan digunakan di shift berikutnya. Jadi, sangat minim atau saya bisa katakan tidak ada sampah makanan ya, di Dapur Cokelat.
Penyebabnya, kami punya produk yang sebagian besar, enggak perishable seperti di restoran, atau kami enggak menjual roti, begitu kan, pasti beberapa hari juga sudah kadaluwarsa, sedangkan kalau produk kami sendiri, kue dan coklat itu bisa bertahan lama.
Hanya kadang-kadang kalau untuk cokelat yang sudah sedikit terlalu lama, mungkin cokelat batangan atau proline, itu muncul lemak, yang putih-putih, sebenarnya itu lemak. Tapi pelanggan mungkin mengira itu jamur. Jadi secara tampilan enggak terlalu bagus, walau sebenarnya itu bukan jamur. Sebenarnya lemak yang muncul dari cokelat itu sendiri. Jadi, kalau bisa saya katakan, di industri kami, untuk sampah makanan, cukup minim ya.
Apa tantangan Dapur Cokelat selama tahun 2023 lalu dan bagaimana penanganannya?
Oke, ini kalau dari saya, lebih banyak kan kami melihat pasti bagaimana kebutuhan pelanggan itu sendiri ya. Karena yang menurut kami menjadi perbedaan besar pada tahun 2023 ini, pada dua tahun terakhir kan memang orang-orang saat pandemi di rumah terus nih, yang tadi saya cerita lebih banyak. Preferensi pembeli mulai bergeser dari yang tadinya hanya duduk di rumah, kami deketin dikit-dikit ke perumahan, sekarang orang-orangnya pada jalan-jalan, naik mobil semua, kejebak macet harus ke kantor begitu.
Oleh karena itu, makanya kami ada pergeseran strategi di tahun ini untuk bagaimana membuat pelanggan tidak hanya nyaman datang ke outlet kami, tapi juga ke delivery point kami. Daripada jauh-jauh ke outlet kami, kami punya titik untuk pengambilan atau pickup point lah, untuk mereka bisa juga membeli produk-produk kami lebih dekat. Tidak hanya di rumah, tapi juga di kantor.
Jadi sedikit banyak yang kami hadapi tahun ini adalah perubahan perilaku pelanggan itu sendiri. Karena mereka yang tadinya saat pandemidi rumah, lalu mereka mesti ke kantor lagi sekarang.
Dari 88 titik penjualan dengan 32 gerai dan 56 delivery points di Indonesia, kota mana saja yang memiliki penjualan tertinggi dan berapa pendapatannya secara yoy dan mom?
Yang pasti, kalau ini masih heavily populated di area Jakarta, ya pasti sejalan dengan dengan perusahaan-perusahaan lain, karena dimana ada jumlah populasi yang besar, berarti ada merchant yang besar juga, misalnya Jogja, Jakarta, dan Surabaya. Tapi kalau detailnya secara spesifik, ya pasti yang tertinggi berada di area Jabodetabek area, khususnya Jakarta.
Kalau dikatakan tertinggi, pasti hanya ada satu titik kan yang tertinggi, atau performing outlet. Dari kami yang bisa dibagikan, pasti yang masuk top performing outlets ada di kota-kota besar, yang saya bilang tadi, dengan populasi di Jakarta, Surabaya dan lainnya. Di tempat lain ya, akan mendatang dan yang mungkin sedang bertumbuhlah, tergantung pada jumlah orang yang ada di sana.
Kalau mungkin dulu kalau Bali dimana-mana, mereka bisa bekerja dari Bali atau work from Bali, mungkin orang-orang berkumpul ke sana, sekarang kebanyakan sih turis-turis yang datang.
Tuntutan produksi cokelat supaya mengurangi jumlah impor biji kakao terus ada, lantas bagaimana Anda merangkul tim supaya tetap produktif dan aktif memasarkan Dapur Cokelat di Indonesia?
Saya ingin sebutkan di awal, memang kami menggunakan produksen cokelat lokal, seluruhnya biji kakao lokal. Jadi tidak peduli ekspansi apa yang kami lakukan, kami menggunakan biji kakaonya Indonesia dan tidak kami impor dari luar negeri. Karena itu, menurut kami, kami sudah sejalan dengan hal tersebut, yang kami ini menggunakan cokelat dari biji kakao lokallah.
Sebagai CEO, apa peran Anda untuk Dapur Cokelat setelah tergabung dalam ekosistem Tjufoo?
Dari saya, satu, dulu saya berlatar belakang e-commerce, kemudian pindah Dapur Cokelat yang sudah tiga tahun memegang bagian di Business Development, jadi mungkin kalau melihat Dapur Cokelat ke depannya, pertama brand kami namanya Dapur Cokelat, tapi kami dikenal sebagai toko kue.
Alhasil ke depannya, kebanyakan inisiatif kami adalah bagaimana caranya Dapur Cokelat tidak hanya soal kue bagi pelanggan, tapi juga produk-produk cokelat kami lainnya, yang ada cemilan atau snacks dan lainnya. Jadi bakal banyak banget produk-produk lain [percakapan sempat terhenti karena isu teknis].
Selain itu, kami memberikan pengalaman yang ketika pelanggan datang ke delivery point dan lainnya. Jadi mereka bisa senyaman mungkin berkunjung. Di situ langkah kami sekarang.
Pesan untuk seluruh tim Dapur Cokelat dan konsumen Dapur Cokelat?
Satu, mengambil peran untuk melanjutkan sebuah perusahaan yang sudah cukup lama, itu sebuah beban besar untuk membawa brand ini maju, brand legendaris yang sudah lama.
Kedua, saya butuh teman-teman mendukung secara internal di Dapur Cokelat, di mana mereka di sini lebih dari bertahun-tahun. Dan pasti kalau untuk pelanggan, terima kasih atas loyalitasnya dengan Dapur Coklat. Semoga tetap menikmati pada produk-produk dan coklat yang kami produksi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: