Rencana penghapusan bahan bakar minyak Pertalite dan menggantikannya dengan Pertamax Green 92 menjadi sebuah topik perdebatan panas akhir-akhir ini. Pasalnya, rencana tersebut dinilai selain memberikan manfaat terhadap lingkungan, tetapi juga memiliki konsekuensi negatif terhadap anggaran negara.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan bahwa kebijakan tersebut dilakukan sebagai upaya mencapai net zero emission pada tahun 2026 mendatang. Ia juga menyebut bahwa transisi ke pertamax green 92 ini juga akan mengurangi impor BBM dan membantu membuka lapangan kerja baru.
Baca Juga: Hadapi Ancaman Inflasi, Pertamina Turun Amankan Pasokan BBM dan LPG
“Itu memang dalam rangka mendukung mencapainya net zero emission pada tahun 2060 dengan pengurangan emisi, termasuk juga pengurangan impor BBM dengan menggunakan etanol lokal, serta tujuan untuk mengimplementasikan biofuel agar menciptakan lapangan kerja baru di produksi biofuel di Indonesia,” ujarnya dalam diskusi publik ‘Subsidi Go Green, Tepatkah?’ yang dilaksanakan oleh INDEF secara virtual pada Rabu (6/9/2023).
Berdasarkan besarnya proyeksi produksi pertamax green 92 di tahun 2024, Tauhid menilai bahwa BBM tersebut memiliki potensi untuk menggantikan pertalite yang saat ini menjadi bahan bakar utama di Indonesia.
“Kami lihat juga targetnya dari paparan yang sudah beredar dari pertamax green 92, di 2023 ini targetnya produknya sekitar 612 kiloliter, dengan ethanol 31 kiloliter. Namun, pada akhir 2024,diharapkan bisa produknya diproduksi sekitar 32,66 juta kiloliter dengan ethanol 2,29 juta kiloliter. Artinya ini secara tidak langsung pertamax green 92 bisa saja menggantikan posisi dari pertamax, atau bahkan mungkin juga menggantikan posisi daripada pertalite, sebagai salah satu bahan bakar utama untuk transportasi kita, baik pribadi maupun penumpang,” tuturnya.
Namun, ia juga menyampaikan bahwa rencana transisi energi ini juga memiliki beberapa konsekuensi, terutama berkaitan dengan anggaran negara. Ia menyampaikan kekhawatirannya dengan adanya transisi energi ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan membengkak. Selain itu, ada juga potensi kesalahan sasaran dalam penerimaan subsidi BBM ini.
“Saya kira ini menjadi suatu catatan kritis ketika upaya untuk mengurangi emisi, dengan adanya produk pertamax green, namun disisi lain memiliki implikasi yang cukup besar, tentu positifnya pada lingkungan, namun memiliki konsekuensi terhadap seberapa jauh tentang kebijakan mengenai energi tepat sasaran. Yang kedua, bagaimana dampak ini terhadap kerangka anggaran yang saat ini sudah setengah dibahas,” tukasnya.
“Mudah-mudahan bisa tepat sasaran dan tidak mengurangi APBN yang rencananya justru subsidi energi di tahun 2024 ini tidak jebol,” imbuh Tauhid.
Sebagaimana diketahui, PT Pertamina memiliki rencana untuk menghapus produk pertalite dan menggantinya dengan pertamax green 92 pada 2024. Wacana ini merupakan bagian dari rencana dari program Pertamina, yakni Langit Biru tahap 2, dengan tujuan menurunkan emisi karbon dan total impor nasional. Pasalnya, pertamax green 92 memiliki kadar oktan yang lebih tinggi dan penggunaan campuran bioetanol.
Akan tetapi, wacana tersebut berpotensi membebankan APBN akibat subsidi energi yang meningkat. Penghapusan pertalite ini juga berpotensi meningkatkan angka inflasi, akibat peningkatan angka dari selisih harga antara pertalite dan pertamax green 92.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Aldi Ginastiar