Palo Alto Networks: Keyakinan pada Keamanan Siber Meningkat Walau ATO & Serangan Malware Masih Ada
Perusahaan global bidang keamanan siber, Palo Alto Networks memaparkan Laporan Kondisi Keamanan Siber di Daerah ASEAN Tahun 2023, yang mengungkapkan bahwa sekitar 93% organisasi di Indonesia sudah cukup yakin dengan langkah keamanan siber yang telah mereka terapkan saat ini (angka keyakinan tertinggi di kawasan Asia Pasifik), meskipun 60% dari perusahaan yang disurvei menyatakan bahwa mereka menghadapi risiko yang cukup besar dari ancaman yang terus berkembang.
Setidaknya terdapat tiga tantangan keamanan siber teratas, mulai dari adanya peningkatan aktivitas transaksi digital yang melibatkan pihak ketiga (58%), ancaman dari perangkat internet of things (IoT) yang tidak terpantau (49%), serta ketergantungan pada layanan dan aplikasi yang berbasis awan atau cloud (48%), dan ini semua sering dihadapi oleh perusahaan dan organisasi di Indonesia.
Selain itu, laporan ini juga menyoroti bagaimana bisnis dengan skala besar di Indonesia mengalami peningkatan risiko keamanan dari perangkat IoT yang tidak aman dan risiko yang timbul akibat meningkatnya penggunaan layanan berbasis cloud.
Baca Juga: Palo Alto Networks Singgung Tantangan Keamanan Siber di ASEAN & Isu ATO di Indonesia
Lantas, apakah keamanan siber menjadi prioritas di perusahaan? Jawabannya, iya, khususnya di jajaran direksi perusahaan. Tercatat lebih dari 53% dari perusahaan di Indonesia menyatakan bahwa keamanan siber menjadi topik yang kerap dibahas setiap kuartal dan menjadi agenda utama bagi sebagian besar dewan direksi, menempatkan Indonesia di posisi tertinggi kedua di ASEAN setelah Filipina.
Ini menjadi alasan bagi 63% organisasi di Indonesia untuk meningkatkan anggaran mereka yang dialokasikan untuk keamanan siber pada tahun 2023. Terlebih lagi, sebanyak 30% organisasi di Indonesia mencatat peningkatan anggaran hingga lebih dari 50% untuk tahun 2023.
Jika dibandingkan dengan tahun 2022, peningkatan ini merupakan suatu tren positif karena banyak upaya untuk mendongkrak kemampuan menghadapi ancaman keamanan siber. Salah satu faktor utama yang mendorongnya adalah digitalisasi. Sebanyak 75% perusahaan di Indonesia mengalokasikan anggaran mereka di sektor tersebut, sehingga membuat posisi Indonesia menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik.
Di samping itu, keamanan siber tetap menjadi prioritas utama di Asia Tenggara atau ASEAN, terutama di sektor Perbankan dan Jasa Keuangan serta Transportasi dan Logistik. Dibandingkan dengan organisasi besar, organisasi kecil di Indonesia cenderung kurang merasa yakin dalam menghadapi tantangan keamanan siber, karena terkendala anggaran yang terbatas. Selain itu, alasan lainnya adalah kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni dalam menangani tantangan ancaman siber.
Regional Vice President ASEAN Palo Alto Networks, Steven Scheurmann mengatakan bahwa keyakinan para perusahaan terhadap langkah pertahanan keamanan siber tetap terus berkembang, namun perlu disertai dengan kewaspadaan.
“Pendekatan proaktif terhadap keamanan siber sangatlah dibutuhkan saat ini, sehingga membutuhkan peran aktif dari semua pihak di dalam organisasi,” ujar Scheurmann di media briefing bertajuk Laporan Kondisi Keamanan Siber di Daerah ASEAN Tahun 2023 di Kuningan, Jakarta, Senin (18/9/2023).
Sebagai salah satu negara di kawasan ASEAN, Indonesia menjadi negara dengan jumlah serangan gangguan keamanan lebih sedikit dibanding kawasan Asia Pasifik lainnya, yakni sebesar 23%.
Selain itu, 54% organisasi di Indonesia juga unggul dalam hal strategi keamanan operational technology (OT) dan IoT di ASEAN. Ini penting karena layanan penting/sektor publik/infrastruktur masih dalam kondisi rentan. Terlebih lagi, keamanan siber OT merupakan prioritas utama di kawasan ini, dengan 77% organisasi yang mengoperasikan OT memiliki tim yang sama untuk mengelola infrastruktur dan sistem information technology (IT)/OT mereka.
Selain keamanan siber, integrasi dengan kecerdasan buatan (AI) menjadi tren yang diadopsi di perusahaan, pelaku usaha kecil menengah (UKM), dan organisasi di Asia Tenggara, khususnya di bidang telekomunikasi, teknologi, dan komunikasi.
Di Indonesia, setidaknya 70% di antaranya mengintegrasikan AI, dan ini akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Angka tersebut termasuk yang paling tinggi di Asia Tenggara.
Tren AI juga diikuti Distributed Ledger Technology (DLT), yakni teknologi untuk membuat sistem keuangan terdistribusi, yang mencakup blockchain, ledger, dan smart contract. Setidaknya 47% perusahaan atau organisasi di Indonesia mengadopsi teknologi ini.
Lantas dari tren-tren tersebut, bagaimana dengan respon pelaku UKM terhadap keamanan siber?
Country Manager Indonesia Palo Alto Networks, Adi Rusli mengatakan, pelaku kejahatan siber terus mengembangkan strategi penyerangan mereka, bahkan ke UKM. Namun, sejumlah besar UKM masih menganggap keamanan siber adalah suatu tindakan yang bersifat jangka pendek. Alasannya, karena mereka tidak memperbarui kemampuan keamanan mereka untuk mengimbangi serangan kejahatan siber. Padahal UKM termasuk tulang punggung ekonomi di Asia Tenggara dan Indonesia.
“… sangatlah penting bagi mereka untuk senantiasa memperbarui kemampuan sistem keamanannya, diiringi dengan strategi penanggulangan insiden yang dapat ditindaklanjuti, sebagai langkah awal untuk memperbaiki strategi keamanan,” ujar Adi.
Adi juga menambahkan, proses otomatisasi keamanan siber juga penting dilakukan untuk menghadapi serangan siber. Tujuannya untuk memupuk ketangguhan untuk menghadapinya.
Baca Juga: Soal Kondisi 5G di Indonesia, Palo Alto Networks: 5G is Good, Tapi Realistis Saja
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: