Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Centris Sebut Anggaran Militer China Sentuh Rp2,432 Triliun, Untuk Apa?

        Centris Sebut Anggaran Militer China Sentuh Rp2,432 Triliun, Untuk Apa? Kredit Foto: Reuters/Tyrone Siu
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ditengah modernisasi dan muktahirnya peralatan dan persenjataan tempur negaranya, Militer China dikabarkan tengah menghadapi masalah serta tantangan berat, pada lini pasukan mereka.

        Bahkan militer Tiongkok sudah mulai mengakui mereka kekurangan tentara yang terampil dan berbakat, untuk mengoperasikan alat maupun senjata super canggih, yang dimiliki Beijing.

        Analis militer yang berbasis di Shanghai, Ni Lexiong, mengatakan bahwa Tentara Pembenasan Rakyat China (PLA), perlu mendaftarkan lebih banyak personel berpendidikan tinggi dan merekrut kembali tentara pensiunan untuk mengoperasikan senjata canggih yang mereka miliki.

        Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) sendiri akhirnya mengakui jika Tiongkok kekurangan pasukan yang terlatih dalam operasi teknologi tinggi, sehingga membatasi penggunaan peralatan canggih secara maksimal.  

        Hal ini berbanding terbalik dengan nafsu Tiongkok dalam memodernisasi peralatan dan persenjataan mereka yang memerlukan investasi besar, namun China kekurangan ‘operator’ yang mengoperasikannya.

        Merespons hal ini, Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menilai wajar jika banyak pihak yang beranggapan pemerintah China saat ini, telah salah perhitungan, dalam mengukur antara kekuatan dan modernisasi alutsista dengan SDM yang mereka miliki.

        Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa, menyebut aggaran militer China telah menyentuh angka 1,55 triliun Yuan atau jika dirupiahkan menjadi Rp 3,432 triliun. 

        “1,54 triliun Yuan tentunya angka yang sangat fantastis untuk anggaran militer suatu negara. Namun Xi Jinping alpa, dia lupa dengan SDM untuk mengoperasikan alutsista canggih nan mutakhir tersebut,” kata AB Solissa kepasa wartawan, Jum’at, (22/9/2023).

        Dari laporan sejumlah media masaa dan media sosial, lanjut AB Solissa, kurangnya SDM bidang militer dikarenakan sikap apatis pemuda Tiongkok untuk bergabung dengan militer.

        Ketidakmampuan taktis, kurangnya pengalaman tempur, populasi yang menua dan kebijakan satu anak yang dicanangkan pemerintah China, juga menjadi ‘kelangkaan’ SDM di negeri tirai bambu tersebut.

        “Padahal, banyak negara di Indo-Pasifik berusaha menghindari konfrontasi langsung dengan Tiongkok karena militer Beijing yang dangat dominan di Asia,” ujar AB Solissa.

        Namun, realitas kehebatan militer Beijing bisa berbeda dan jauh dari kenyataan saat ini, dimana mereka kelurangan pasukan khususnya yang ahli dalam mengoperasikan canggihnya peralatan dan persenjataan mereka.

        Ahli strategi militer, Edward Luttwak, mengatakan kekurangan tenaga kerja di angkatan darat dan angkatan laut Tiongkok merupakan masalah besar, karena generasi muda Tiongkok cenderung bergabung dengan angkatan udara yang glamor.  

        Berdasarkan data yang dilansir dari berbagai laporan, diketahui lebih dari 30 persen penduduk Tiongkok akan berusia 60 tahun atau lebih pada tahun 2035 yang tidak di imbangi dengan regenerasi.

        Populasi yang menua dan dampak negatif dari kebijakan Satu Anak, telah menciptakan tantangan bagi PLA yang beranggotakan 2 juta orang.

        Diplomat sekaligus peneliti di S.Rajaratnam School of International Studies yang berbasis di Singapura, Lora Horta, menyebut kebijakan satu anak telah menciptakan situasi di mana satu anak harus mengasuh dua orang tuanya.  

        Akibatnya, banyak keluarga yang enggan melihat anaknya berkarir di militer dan disisi lain, menyebabkan generasi muda Tiongkok menjadi manja dan tidak menyukai kerasnya kehidupan militer.

        “Disisi lain, Otoritas Beijing diketahui tengah menghadapi tantangan di garis depan, mulai dari Taiwan hingga misi Angkatan Laut dan Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) di perairan Laut China Selatan yang menjadi sengketa, tepatnya di dekat pulau-pulau yang diduduki China,” jelas AB Solissa.

        “Tapi dengan minimnya pasukan, apa berani China menghadapi tantangan yang jauh lebih keras, mengingat jumlah pasukan mereka yang ahli masih minim sekali,” pungkas AB Solissa.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: