Mendorong industri ekstraktif dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan kepada publik. Hal tersebut sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam mewujudkan target pembangunan berkelanjutan yang transparan serta akuntabel.
Ketua Sekretariat Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) selaku Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi, mengatakan pentingnya transparansi dalam industri ekstraktif sejak dari pemberian izin hingga besaran kontribusi yang diberikan kepada negara.
"EITI merupakan sebuah standar global bagi tata kelola sumber daya alam minyak, gas, mineral, dan batubara dengan prinsip keterbukaan data pada setiap rantai nilai industri ekstraktif mulai dari pemberian izin dan kontrak pertambangan, kegiatan eksplorasi, produksi, pengelolaan pendapatan negara yang diperoleh, pendistribusiannya ke daerah, hingga kontribusi sektor ini pada negara,"ujar Agus dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (17/10/2023).
Baca Juga: Harus Akuntabel, Arifin Tasrif Berharap Adanya Optimalisasi Pengelolaan ESDM
Agus menyebut, keterlibatan Indonesia dalam pelaksanaan standar global industri ekstraktif sudah dilakukan sejak tahun 2010.
"Sampai dengan saat ini, Indonesia telah menyusun laporan EITI ke-10 yang mengungkapkan data dan informasi dalam setiap rantai pasok industri ekstraktif mulai aspek perizinan, produksi, sampai dengan pemanfaatan pendapatan yang didapatkan," ujarnya.
Agus mejyebut, melalui prinsip keterbukaan data dan informasi keterlibatan masyarakat diharapkan dapat ditingkatkan untuk mendorong perbaikan kebijakan dan tata kelola industri ekstraktif, dan meningkatkan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat.
Sementara itu, Dekan FISIPOL Universitas Gajah Mada Wawan Mas'udi menyinggung pentingnya pelibatan stakeholder dalam pemanfaatan energi yang lebih renewable dengan tetap memperhatikan aspek keadilan dan kesetaraan.
"Polgov secara aktif ingin bekerja sama bukan hanya dengan stakeholder lokal tetapi juga di tingkat global, salah satunya bersama dengan Civil Society Organization (CSO) untuk mendorong masyarakat sipil dalam pengelolaan energi ekstraktif," Wawan.
Upaya membangun green society menurut Wawan bukan hanya pengetahuan tetapi juga aksi kebijakan. Tantangan iklim harus kita adaptasi dalam bentuk kebijakan. Misalnya, melalui melalui transisi energi, Industri ekstraktif menjadi pilar pertumbuhan ekonomi yang paling utama di berbagai negara.
"Menjadi tumpuan sumber daya keuangan negara," ucapnya.
Wawan mengatakan, masalah saat ini adalah pengelolaan penambangan belum dapat memberikan kesejahteraan secara merata, sehingga upaya hilirisasi untuk mendukung transisi energi menjadi salah satu harapan.
"Knowledge production dari kampus diharapkan dapat membantu aksi pembuatan kebijakan," ujar Wawan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: