Gelombang Produk Impor dari Tiongkok Guncang Indonesia, Langkah Regulasi Diterapkan
Para produsen di Tiongkok telah menciptakan produk-produk yang sangat diminati dan menjualnya dengan harga murah melalui TikTok Shop.
Akibatnya, negara-negara seperti Indonesia menghadapi gelombang besar produk impor dari Tiongkok. Menurut Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), setidaknya 74% dari produk yang dijual di TikTok Shop berasal dari luar negeri.
Dampak dari situasi ini menyebabkan para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia merasa kesulitan bersaing dan terpinggirkan. Selain itu ternyata, ekonomi nasional secara keseluruhan juga turut terdampak.
Baca Juga: TikTok Shop Tuai Pro dan Kontra, Fenomena Ludisme Jadi Sorotan
CEO dan Co-founder CIAS, Dr. Indrawan Nugroho mengatakan praktik seperti ini termasuk melanggar prinsip perdagangan. Oleh karena itu, pemerintah telah mengambil langkah-langkah regulasi untuk mengatur perdagangan melalui e-commerce.
Indrawan menyampaikan salah satu tindakan yang diambil dengan menerapkan peraturan tentang harga minimum sebesar US$ 100 untuk barang-barang impor yang dijual melalui platform e-commerce.
“Ada juga peraturan yang lebih ketat terkait impor komoditas tertentu, seperti mainan anak-anak, barang elektronik, alas kaki, kosmetik, pakaian, tas, dan obat tradisional. Upaya ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk impor diperlakukan dengan cara yang sama seperti produk dalam negeri sekaligus membatasi praktik e-commerce yang tidak adil,” ungkap Indrawan melalui kanal YouTubenya, Selasa (31/10).
Indrawan melanjutkan langkah-langkah regulasi ini juga bertujuan untuk mencegah e-commerce melakukan praktik yang merugikan pelaku UMKM serta memastikan bahwa e-commerce tidak mendominasi pasar dengan cara yang tidak sehat.
“Contoh konkret dari dampak regulasi ini adalah langkah Shopee Indonesia untuk menghentikan penjualan produk dari penjual luar negeri atau cross-border. Tetapi ternyata ada isu lain yang muncul terkait larangan pemerintah terhadap social commerce. Menteri Perdagangan menjelaskan bahwa social e-commerce hanya boleh digunakan untuk promosi barang atau jasa dan tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi langsung,” beber Indrawan.
Indrawan menyebut alasan terjadinya hal tersebut lantaran perbedaan izin antara platform media sosial dan e-commerce. Social commerce menggunakan algoritme yang dapat mempengaruhi rekomendasi produk, mirip dengan e-commerce, sehingga muncul pertanyaan mengapa social commerce dilarang jika algoritme menjadi masalah, sementara e-commerce tidak dilarang.
Sementara itu, isu lain juga muncul terkait dengan pedagang di pasar Tanah Abang yang menganggap diri mereka terkena dampak dari TikTok Shop. Kendati awalnya meminta penutupan TikTok Shop, kini para pedagang juga meminta agar seluruh platform e-commerce ditutup. Lalu lantaran perubahan zaman dan cara berbelanja yang berubah menuntut adaptasi, para pedagang mau tidak mau harus belajar beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Terakhir, TikTok Shop tampaknya akan mengajukan izin untuk menjadi Lokapasar, sementara para pengembang TikTok sedang bekerja pada platform e-commerce yang baru. Platform tersebut dibeberkan akan diluncurkan pada 11 November 2023. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan dalam industri perdagangan harus diikuti dengan adaptasi dan perkembangan yang sesuai.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Naeli Zakiyah Nazah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: