Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien Kanker Paru, Pemeriksaan Molekuler dan Imunohistokimia Harus Ditanggung BPJS
Menjadi penyumbang kasus kematian paling tinggi di Indonesia, penanganan terhadap pasien kanker paru terus ditingkatkan. Berdasarkan data, sebanyak 34.783 orang terdiagnosis kanker paru, dan 30.483 di antaranya meninggal dunia. Tanpa peningkatan kualitas diagnosisi dan tata laksana yang tepat, angka kematian yang disebabkan kanker paru bisa mencapai angka 43.900 pada 2030 mendatang.
Dalam hal ini, pemeriksaan molekuler dan Imunohistokimia (IHK) berperan penting untuk membantu diagnosis jenis kanker dan mendukung pemilihan terapi yang tepat, khususnya bagi pasien kanker ALK (Anaplastic Lymphoma Kinase) dan PD-L1 (Programmed Death-Ligand 1).
Dalam rangka memperingati Bulan Peduli Kanker Paru Sedunia, Roche Indonesia bersama dengan RSUP Persahabatan dan CISC menyoroti pentingnya akses diagnosis yang saat ini belum ditanggung oleh BPJS Kesehatan, khususnya untuk pemeriksaan imunohistokimia dan molekuler. Peningkatan pemahaman masyarakat dan aksesibilitas terhadap pemeriksaan ini berperan penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kanker paru, menekan angka kasus kematian, dan beban pembiayaan kanker.
Baca Juga: Peduli Kanker, Bayan Ajak Masyarakat Berdonasi Lewat Bayrun for Charity 2023
“Kanker paru merupakan kanker tertinggi ke-3 di Indonesia, namun memiliki angka kematian tertinggi. Roche berkomitmen untuk mendukung upaya pemerintah dalam melakukan diagnosis dini kanker paru dan membantu dokter dengan keputusan klinis mengenai target terapi kanker untuk manajemen pasien yang lebih baik. Kami berkomitmen untuk memperkuat kolaborasi antar pemangku kepentingan terkait untuk mendorong akses yang lebih luas terhadap pasien kanker paru, memberikan mereka peluang lebih besar untuk bertahan hidup dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik.” ujar Director, Diagnostics Division, PT Roche Indonesia, Lee Poh-Seng dalam Konferensi Pers: Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien Kanker Paru Lewat Pemeriksaan Molekuler dan IHK yang Komprehensif, di kawasan Kuningan Jakarta Selatan, Selasa (28/11/2023).
Lebih lanjut, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid menambahkan, upaya deteksi dini secara terus menerus kini telah dilakukan. Selain meningkatkan kualitas hidup pasien, upaya tersebut juga akan memudahkan identifikasi pengobatan yang tepat, sehingga beban biaya perawatan kesehatan pun dapat dikendalikan.
Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya deteksi dini sudah semakin meningkat. Meski demikian, pemahaman tentang pemeriksaan dengan metode Imunohistokimia (IHK), terutama bagi pasien kanker paru masih menemui tantangan. Kolaborasi dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat membuka akses tes yang lebih luas bagi masyarakat.
Adapun pemeriksaan molekuler dengan PCR untuk deteksi mutasi gen dan pemeriksaan menggunakan metode Imunohistokimia (IHK) untuk melihat ekspresi protein dapat membantu dalam pemilihan terapi lanjutan yang tepat.
“Sebagai upaya untuk penegakan diagnosis kanker paru, RSUP Persahabatan bekerjasama dengan Roche Indonesia menyediakan pemeriksaan ALK dan PD-L1 dengan metode Imunohistokimia (IHK) secara cuma-cuma, dan saat ini telah melayani 30–50 pemeriksaan dalam sebulan. Tentunya, pemeriksaan tersebut dapat membantu pasien untuk mendapatkan diagnosis yang terstandar sehingga pengobatan pun lebih cepat dan tepat,” tambah Kepala Pelayanan Medik RSUP Persahabatan dr. Erlang Samoedro, SpP(K).
Baca Juga: Rendahnya Deteksi Dini Kanker, Menkes Minta Masyarakat Tak Takut untuk Skrining
Berdasarkan data terbaru, sebanyak 90% pasien kanker paru datang ke dokter setelah mereka memasuki stadium lanjut. Hal tersebut menyebabkan keterlambatan dalam penanganan kanker dan meningkatkan risiko kematian pada pasien. Tegaknya pemeriksaan molekuler pada kanker paru sangat menentukan terapi yang optimal. Sesuai dengan panduan tata laksana nasional, pemeriksaan molekuler standar yang wajib dilakukan adalah EGFR, ALK, PD-L1 dan ROS-1 untuk KPKBSK (kanker paru bukan sel kecil).
Sementara pemeriksaan imunohistokimia dan molekuler belum ditanggung oleh BPJS Kesehatan, lain halnya dengan pemeriksaan EFGR, namun terbatas pada jenis sel tertentu.
“Angka positif EGFR di Indonesia berkisar 45-50%, di mana masih ada sekitar 50% pasien BPJS yang mutasinya belum teridentifikasi sehingga kelompok tersebut kemungkinan besar belum mendapatkan terapi sesuai. Tentunya, hal ini tidak hanya berdampak pada kualitas hidup pasien. Namun, berdampak pula pada efisiensi biaya pelayanan kesehatan pada kanker paru di BPJS,” jelas Pakar Onkologi Toraks RSUP Persahabatan dan Direktur Eksekutif Asosiasi Studi Onkologi Toraks Indonesia (IASTO) Prof. dr. Elisna Syahruddin, PhD, Sp.P(K),
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat