Penerimaan cukai hasil tembakau Indonesia turun sebanyak Rp5 triliun di 2023. Pada 2022, penerimaan cukai dari produk tembakau sebesar Rp218 triliun, kemudian pada 2023 turun menjadi Rp213 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menyatakan penurunan ini belum tentu disebabkan karena masyarakat mengurangi konsumsi rokok.
"Penurunan cukai tembakau saat ini juga disebabkan oleh tingginya harga komoditas lain, seperti halnya bahan pokok. Sehingga dengan adanya kenaikan ini, masyarakat beralih ke rokok ilegal," kata Tauhid (1/4).
Tauhid lebih lanjut menambahkan bahwa kenaikan cukai juga berkaitan dengan situasi ekonomi. Kenaikan cukai yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi stagnan justru akan membuka ruang bagi para produsen rokok ilegal. Maka dari itu kebijakan pengendalian tembakau harus dilihat dari berbagai aspek, baik fiskal maupun non-fiskal.
Di sisi lain, pemerintah saat ini sedang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah Kesehatan (RPP Kesehatan). Rancangan Peraturan ini merupakan aturan turunan dari Undang-undang Kesehatan yang mengandung banyak muatan, mulai dari persoalan tenaga kesehatan hingga pengetatan produk tembakau dari sisi fiskal dan non-fiskal.
Koordinator Bidang Hubungan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Feryando Agung, pada Diskusi di Gedung Tempo (18/3) menyatakan memang RPP Kesehatan akan berdampak pada industri tembakau. Hal-hal yang mencuat jadi pembahasan ialah kelangsungan industri, hubungan kerja, pemasukan bagi negara, dan komoditas tani.
"Kami menilai bahwa RPP ini sesungguhnya baik adanya, tapi dalam pelaksanaannya tentu menimbulkan dampak bagi industri,” kata Feryando pada diskusi di Gedung Tempo (18/3).
Sejak kemunculannya, RPP Kesehatan menimbulkan berbagai kontroversi. Pakar hukum Feri Amsari menyoroti metode omnibus yang digunakan pada tataran RPP Kesehatan.
Baca Juga: Menanti Kepedulian Capres, Masyarakat Pertembakauan Resah Akibat RPP Kesehatan
Feri menyatakan penggunaan metode omnibus sendiri sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara.
“Larangan omnibus di Amerika sampai masuk ke konstitusi karena memang metode ini dipandang memiliki kecenderungan dapat mengakomodir pasal titipan,” kata Feri pada diskusi di Gedung Tempo (18/3).
Pada saat yang sama, Feri mengatakan publik dan organisasi masyarakat mesti terlibat dalam penyusunan kebijakan publik, termasuk RPP Kesehatan. Sebab yang akan terkena dampak dari kebijakan tersebut adalah publik sendiri. Sebaliknya, akan jadi preseden tidak baik bila peraturan disusun tidak mengajak bicara organisasi dan para pemangku kepentingan lainnya.
“Jangan-jangan memang regulasi itu sudah diatur dan diperuntukkan untuk kepentingan tertentu, tapi semoga tidak, mudah-mudahan masih bisa dikoreksi baik yang berhubungan dengan organisasi kesehatan ataupun organisasi bisnis,” tutup Feri.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: