Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bisa Pengaruhi Pasokan Migas, Dampak Perang Iran-Israel Sulit Ditebak

        Bisa Pengaruhi Pasokan Migas, Dampak Perang Iran-Israel Sulit Ditebak Kredit Foto: Djati Waluyo
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar melihat bahwa, serangan Iran terhadap Israel menimbulkan banyak spekulasi mengenai kondisi perekonomian dunia, terutama dari sisi harga minyak mentah.

        Menurutnya, panasnya tensi geopolitik yang berakibat pada terganggunya supply minyak dan gas bumi (migas) bukanlah hal yang baru. Konflik geopolitik pada periode 1970-1980 berakibat pada krisis energi akibat terganggunya supply.

        Arcandra menilai, pada industri migas terdapat adagium atau istilah pepatah 2 dan 1, di mana hanya satu hal yang diketahui ialah kondisi harga energi berupa minyak, batu bara, dan lain-lain. 

        Sedangkan dua hal yang tidak bisa diketahui adalah kapan harga naik dan turun, serta berapa tingkat kenaikan ataupun penurunannya.

        "Selama ini yang kita tahu kalau dia naik kemungkinan besar akan turun. Kalau dia turun, pasti akan naik lagi," ujar Arcandra saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Selasa (16/4/2024).

        Arcandra menyebut bahwa, konflik geopolitik merupakan sebuah keniscayaan, dan banyak negara yang sudah tidak melihat dari sisi dampak perang Iran dan Israel.

        Ia menilai saat ini sudah banyak pihak yang lebih memikirkan langkah antisipasi ketika terjadi krisis energi sebagai akibat memanasnya tensi geopolitik tersebut.

        "Banyak negara mungkin tidak lagi melihat dari sisi dampak jangka pendek, tapi bagaimana kita mengantisipasi kalau ini terjadi," ujarnya.

        Meski begitu, ia tidak melihat bahwa harga minyak mentah berpeluang besar melesat akibat pecahnya perang antara Iran dan Israel, namun kenaikan harga minyak mentah tidak bisa diprediksi secara akurat.

        "Tadi saya sebut ada dua yang tidak bisa diketahui. Bagaimana mau prediksi kalau tidak diketahui," ungkapnya. 

        Baca Juga: Hadapi Efek Konflik Israel - Iran, Pertamina Siap Jaga Stabilitas Harga dan Stok BBM

        Lanjutnya, terdapat tiga kawasan yang punya pengaruh besar terhadap harga minyak mentah, yakni Amerika Serikat, Arab, serta Russia.

        Khusus minyak dari Amerika Serikat, biasanya Negeri Paman Sam menghindari harga minyak di atas US$100 per barel. Pasalnya, inflasi akan makin parah jika kenaikan tembus di level tersebut.

        "Inlasinya bisa makin parah, semua harga masuk pom bensin tidak ada subsidi. Jadi mereka tidak mau harga di atas US$100 karena memperparah inflasi," ujar Arcandra. 

        Sedanhkan Amerika Serikat juga tidak menginginkan harga minyak mentah berada di bawah US$70 karena harga produksi yang mahal.

        Artinya, Amerika Serikat terus mengupayakan agar harga minyak berada di bawah US$90 per barel tapi tidak lebih rendah dari US$70 per barel.

        "Minyak Amerika itu mahal ya mungkin harga di break event-nya di US$40-US$50, kalau ada margin sekitar US$15-US$20. Kemungkinan akan ditahan di US$70 dan di bawah US$100 ya," jelasnya.

        Kemudian untuk minyak dari Tanah Arab, cenderung lebih agile dalam mengadopsi harga. Dalam hal ini, negara-negara Arab bisa menerima harga yang sangat rendah karena ongkos produksi bisa di bawah US$20.

        Begitupun dengan negara tinggi, Arcandra mengatakan Syekh Oil bisa menerimanya. Pasalnya, harga bensin di sana mendapat subsidi dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit.

        Baca Juga: Lancarkan Arus Balik Lebaran, Pertamina Aktif Layani Pemudik Kehabisan BBM

        "Pom bensin mereka disubsidi, penduduk kecil, produksi besar. Jadi kalau harga tinggi pun Syekh Oil itu oke, mau US$100, US$110, US$120 mereka oke," tambahnya.

        Begituoun dengan Rusia yang akan mengupayakan sebisa mungkin harga minyak mentah tidak lebih rendah dari US$70 per barel. 

        Apalagi, Rusia biasa menjual minyak dengan harga diskon, seperti pada 2023 lalu mereka menerapkan potongan hingga US$30 per barel.

        "Harga di Rusia kalau setinggi-tingginya bagus, tapi jangan sampai harga rendah karena ongkos produksi mungkin sekitar US$30-US$40, ditambah ongkos diskon US$30. Jadi, kalau bisa harga US$70 per barel itu sudah paling rendah bagi Rusia," paparnya. 

        Naiknya harga minyak mentah sebagai dampak dari perang Iran-Israel, bergantung pada tiga kawasan utama penghasil minyak tersebut, yakni Arab, Amerika Serikat, dan Rusia.

        "Jadi ini tergantung saja kuat-kuatan seperti apa tiga penghasil minyak terbesar ya," tutupnya

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: