Kredit Foto: Antara/Basri Marzuki
Kebijakan kemitraan perkebunan inti rakyat (PIR) dengan banyak ragamnya yang telah dikembangkan oleh pemerintah Indonesia belakangan ini bisa dikategorikan menjadi kebijakan yang sukses sekaligus triggering effect besar bagi revolusi perkebunan kelapa sawit rakyat.
Tak hanya itu, revolusi perkebunan sawit rakyat juga menjadi sumber mata pencaharian bagi kurang lebih 2.5 juta rumah tangga petani dan 10 juta orang anggota keluarga petani sawit lainnya. Revolusi tersebut juga menjadi lokomotif ekonomi bagi pertumbuhan ekonomi lantaran bisa menyerap tenaga kerja hingga mengentaskan kemiskinan di kawasan pedesaan.
Baca Juga: Andre Rosiade Minta Peremajaan Sawit Rakyat Hadir di Sumbar: Jangan Dilupakan!
Namun, menurut catatan PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute), ada berbagai masalah yang sedang menggerogoti sawit rakyat. Di antaranya adalah produktivitas yang rendah, kendala legalitas lahan dan kebun sawit, infrastruktur yang buruk, serta minimnya pembiayaan replanting.
Maka dari itu, PASPI berharap jika inovasi kemitraan bisa mencetak prestasi baru bagi perkembangan perkebunan sawit rakyat yang lebih revolusioner.
“Sekaligus mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh petani sawit rakyat saat ini,” tulis riset PASPI, dikutip Warta Ekonomi, Rabu (10/7/2024).
Kemitraan Sudah Dilakukan Sejak Tahun 2007
Sejatinya, PASPI mencatat bahwa inovasi kemitraan perkebunan sawit ini sudah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2007 sialm. Pemerintah, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 26 Tahun 2007, mewajibkan korporasi atau perusahaan untuk membangun kebun yang diperuntukkan bagi masyarakat minimum 20% dari total luas yang diusahakan.
“Aturan tersebut diwajibkan bagi korporasi perkebunan kelapa sawit yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP atau IUP-Budidaya) yang terbit setelah tahun 2007. Kewajiban korporasi untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat juga tercantum pada UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 58,” catat PASPI.
Baca Juga: Industri Minyak Sawit Ternyata Masuk Pilar Ketahanan Pangan Global
Adapun salah satu faktor yang menyebabkan korporasi tidak dapat melaksanakan kemitraan melalui pembangunan kebun sawit baru bagi masyarakat sekitar adalah keterbatasan lahan baru serta pemberlakukan Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang moratorium pembukaan areal kebun sawit baru.
Di sisi lain, pembukaan areal perkebunan kelapa sawit baru juga berpotensi menimbulkan serangkaian masalah lingkungan seperti konversi hutan, lahan pangan atau pertanian lainnya, lahan gambut, dan biodiversity loss. Tak hanya lingkungan, masalah sosial seperti konflik agrarian dan pelanggaran HAM juga bisa memperburuk citra sawit hingga menjadikannya sebagai high-risk commodity di Uni Eropa.
“Kondisi di atas menjadi tantangan dalam implementasi kewajiban untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Hal ini menunjukkan dibutuhkan alternatif model kemitraan lain pada perkebunan sawit rakyat yang lebih sustainable dan inklusif,” ungkap PASPI.
Baca Juga: Pemerintah Amerika Lirik Indonesia sebagai Percontohan Sawit Dunia
Kemitraan Revolusioner
Menurut PASPI, untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, pemerintah mulai memformulasi bentuk lain dari kemitraan yang terakomodir dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan teknis pada PP Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian serta Peraturan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 2021 tentang Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat
Ketiga regulasi tersebut tetap mewajibkan korporasi perkebunan untuk memfasilitas pembangunan kebun masyarakat seluas 20% dari luas IUP. Akan tetapi, kewajiban kemitraan tersebut dapat dikonversikan setara dengan kegiatan usaha produktif seperti kegiatan pada subsistem hulu, subsistem kegiatan budidaya, subsistem hilir, subsistem penunjang, fasilitas kegiatan peremajaan dan lain sebagainya.
PASPI menilai jika model baru kemitraan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2021 mampu menjawab sekaligus menjadi solusi atas tantangan serta permasalahan yang dihadapi oleh perkebunan sawit rakyat. Akan tetapi, dibutuhkan inovasi kemitraan yang revolusioner apabila ingin kembali menorehkan prestasi perkembangan perkebunan yang revolusioner.
“Model kemitraan yang dimaksud adalah korporasi membantu perkebunan sawit rakyat untuk “naik kelas” dengan cara membentuk koperasi petani sawit rakyat dengan unit usaha integrasi hulu-hilir,” jelas PASPI.
Sejatinya, pengupayaan koperasi petani sawit rakyat untuk terlibat dalam industri hulu dan hilir merupakan bagian dari proses industrialisasi. Petani dapat menikmati nilai tambah yang lebih besar melalui koperasi. Pasalnya, petani tidak hanya mendapatkan keuntungan dari harga jual TBS semata, melainkan juga dari produk hilir seperti olahan minyak makan merah, minyak goreng, biodiesel, dan sebagianya.
Baca Juga: Selesaikan Masalah Regulasi Sawit, Indonesia Diminta Tiru Malaysia
PASPI berharap perkebunan sawit rakyat mencapai revolusi baru berupa produktivitas yang tinggi, daya saing yang tinggi, lebih sustainable, mandiri dan punya daya tawar yang kuat dengan pengembangan koperasi petani sawit yang terintegrasi hulu-hilir dengan model kemitraan yang lebih maju.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar