Diskusi panel bertajuk "Penguatan Ekosistem Halal untuk Masa Depan Ekonomi dan Keuangan Syariah" diselenggarakan oleh INDEF, Universitas Paramadina, dan UIN Syarif Hidayatullah pada Jumat, 4 Oktober 2024.
Dimoderatori oleh Prof. Dr. Nur Hidayah, Kepala Pusat Ekonomi Syariah INDEF, diskusi ini menghadirkan pembicara Dr. A. Hakam Naja (mantan anggota DPR RI dan Associate INDEF), Dr. Handi Risza (Vice Head of Center Sharia Economic INDEF), serta Prof. Madya Dr. Mohammad Nabil Al Munawwar dari Universiti Brunei Darussalam.
Dr. Hakam Naja menekankan pentingnya membangun ekosistem ekonomi syariah secara kolektif antarnegara OKI, yang terdiri dari 57 negara. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, Indonesia seharusnya mampu bersinergi dengan negara-negara muslim lain seperti Malaysia dan Brunei dalam memanfaatkan potensi ekonomi halal.
Saat ini, Indonesia lebih berperan sebagai konsumen, sementara negara-negara non-OKI, seperti Brasil dan Australia, mendominasi sebagai produsen makanan halal. Hakam juga mencatat bahwa Indonesia, yang berada dalam kategori negara dengan pendapatan menengah (middle-income trap), perlu memperkuat sektor industri keuangan halal dan turunannya agar mampu meningkatkan pendapatan per kapita.
Hakam juga menggarisbawahi pentingnya berfokus pada empat sektor utama, yakni keuangan syariah, makanan dan minuman halal, pariwisata halal, serta fashion halal. Industri fashion, misalnya, memiliki peluang besar untuk bangkit di tengah tantangan deindustrialisasi yang dialami Indonesia sejak 2004.
Sementara itu, Prof. Dr. Mohammad Nabil Al Munawwar dari Universiti Brunei Darussalam memberikan pandangannya tentang besarnya pasar halal global. Pada 2020, pasar halal mencapai USD 7,2 triliun dan terus bertumbuh setiap tahun sebesar 5,6%.
Segmen pasar halal terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi muslim dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya produk halal. Ia juga menekankan pentingnya integrasi rantai pasok halal yang memastikan bahwa semua produk yang dikonsumsi oleh muslim terjamin kehalalannya sejak dari bahan baku hingga sampai ke konsumen akhir.
Al Munawwar menekankan bahwa bisnis halal bukan hanya soal sertifikasi, tetapi juga bagaimana ekosistem bisnis tersebut berfungsi, termasuk dalam hal pertukaran nilai antara berbagai pelaku usaha.
Dr. Handi Risza mengungkapkan bahwa industri halal di Indonesia masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi dengan baik. Di banyak negara maju, industri halal telah berkembang pesat dalam berbagai bidang, mulai dari makanan dan minuman hingga farmasi, kosmetik, dan media. Namun, di Indonesia, ekosistem ini belum terbangun secara komprehensif. Ia juga mencatat bahwa sektor keuangan syariah di Indonesia masih sangat terbatas dengan market share hanya sekitar 7%.
Baca Juga: INDEF Harap Pemerintahan Baru Benahi Hilirisasi
Risza juga menyoroti perlunya regulasi yang lebih kuat dari pemerintah untuk mendukung pertumbuhan industri halal, termasuk penyediaan modal yang memadai serta kebijakan fiskal yang mendukung. Terobosan kebijakan seperti UU No. 59/2024 tentang RPJMN yang sudah memasukkan penguatan ekonomi syariah perlu didorong lebih lanjut untuk memperkuat ekosistem halal di Indonesia.
Lebih lanjut, dipaparkan Risza, beberapa hal penting yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut.
- Industri halal harus dimasukkan dalam kebijakan strategis nasional melalui RPJMN dan RPJMP 2024-2029.
- Perlu diberikan ruang dan fasilitas yang lebih luas kepada keuangan syariah dan perbankan syariah untuk berkembang.
- Regulasi payung (omnibus law) perlu didorong untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah.
- Penguatan sinergi antarnegara OKI dalam mengembangkan ekosistem halal global.
- Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat keluar dari middle-income trap dan memperkuat posisinya sebagai produsen produk halal dunia, bukan hanya sebagai konsumen.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: