Berdasarkan data di Bursa Malaysia Derivatives (BMD), Rabu (23/10/2024), harga kontrak crude palm oil (CPO) meroket ke level tertinggi dalam dua tahun. Hal tersebut menunjukkan reli penguatan tiga hari berturut-turut yang ditopang prospek menurunnya produksi serta stok di dunia negara produsen terbesar CPO, yakni Indonesia dan Malaysia.
Tercatat, kontrak berjangka CPO untuk November 2024 meroket sebanyak 113 Ringgit Malaysia menjadi 4.563 Ringgit Malaysia per tonnya. Sementara untuk kontrak berjangka CPO Desember 2024, meningkat sebanyak 103 Ringgit Malaysia menjadi total 4.514 Ringgit Malaysia per tonnya.
Beralih ke Januari 2025, kontrak berjangka CPO tercatat 100 Ringgit Malaysia menjadi 4.486 Ringgit Malaysia per ton. Sedangkan pada bulan Februari 2025, kontraknya menguat senilai 98 Ringgit Malaysia yakni 4.443 Ringgit Malaysia per ton.
Pada bulan Maret 2025, kontrak berjangka CPO merangkak naik sebesar 93 Ringgit Malaysia menjadi 4.392 Ringgit Malaysia per tonnya. Dan pada bulan April 2025 kontrak CPO menguat senilia 87 Ringgit Malaysia dengan total per tonnya mencapai 4.337 Ringgit Malaysia.
Baca Juga: CPO Merangkak Naik Usai Prabowo Dilantik
Menanggapi meroketnya harga CPO ke level tertinggi dalam dua tahun terakhir itu, trader minyak sawit David Ng mengatakan bahwa lonjakan tersebut didorong oleh faktor ekspektasi rendahnya produksi dan tingkat stok yang menurun baik di Malaysia maupun Indonesia.
David juga mengamati bahwa sentiment pasar saat ini kian diperkuat oleh kenaikan harga minyak kedelai di Chicago Board of Trade (CBoT).
“Kami melihat adanya support di level 4.400 Ringgit Malaysia dan resistance di 4.580 Ringgit Malaysia,” ujarnya dikutip dari Bernama, Kamis (24/10/2024).
Baca Juga: Seimbang, Pemerintah Jamin Program Biodiesel Tidak Ganggu Pasokan CPO
Senada, Sathia Varqa selaku analis senior dari Fastmarket Palm Oil Analytics mengungkapkan bahwa lonjakan harga tersebut ada keterkaitan dengan kombinasi pertumbuhan ekspor yang kuat dan produksi yang lemah. Apabila mengacu pada survei produksi UOB KayHian untuk periode 1-20 Oktober, terlihat bahwa produksi di Sabah mengalami kenaikan antara 7-11%.
Akan tetapi, hal berbeda terjadi di Sarawak dan Semenanjung Malaysia masing-masing terjadi penurunan produksi antara 3-7% dan 6-10%.
Dirinya pun memprediksi bahwa secara keseluruhan produksi selama periode itu telah menurun antara 1-5%, yang semakin memperketat pasokan di pasar.
“Momentum bullish, dikombinasikan dengan pertumbuhan ekspor yang kuat, produksi yang lemah, dan kenaikan solid pada minyak nabati terkait, telah cukup untuk memicu aksi beli yang masif pada kontrak berjangka CPO,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: