Aturan Terbaru Kemenkes Dinilai Double Standard, Ekonom Desak Prabowo-Gibran Dengarkan Kebutuhan Industri Tembakau
Sejumlah ekonom menilai Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan rencana aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) menimbulkan berbagai polemik yang akan ditanggung oleh pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran.
Kebijakan tersebut dinilai dapat menggagalkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang telah dicanangkan oleh Prabowo-Gibran.
Pandangan ini muncul akibat keputusan yang diambil pemerintah dinilai memiliki standar ganda, yakni industri tembakau kerap dibebani berbagai regulasi dan dipojokkan tanpa diberikan solusi. Dalam PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes terdapat poin-poin yang membatasi peredaran rokok, tapi di sisi lain, negara terus berharap adanya kenaikan pendapatan dari cukai rokok, serapan tembakau dari petani, dan menambah tenaga kerja.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menyatakan bahwa berbagai desakan aturan untuk industri tembakau merupakan tindakan yang bisa mematikan sektor tersebut. Padahal, industri tembakau di Indonesia memiliki mata rantai yang panjang, mulai dari hulu sampai hilir, dan melibatkan banyak pihak. “Industri tembakau harus masih bisa jalan. Jangan sampai dihantam kanan kiri, dibatasi penjualan, dibatasi ruang merokok, dan yang lainnya,” ujarnya.
Piter juga berharap pemerintahan baru memiliki perhatian khusus bagi industri tembakau. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa industri tembakau berkontribusi besar terhadap penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja.
Di kesempatan lain, Direktur Indonesia Budget Center, Elizabeth Kusrini, juga mendesak pemerintahan Prabowo untuk mempertimbangkan kebijakan yang lebih komprehensif serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan di industri tembakau demi mencapai keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan stabilitas ekonomi.
“Keterlibatan aktif dari semua pemangku kepentingan dan transparasi dalam proses pengambilan keputusan akan menjadi faktor kunci dalam menentukan arah kebijakan bagi industri tembakau ke depan,” ucap Elizabeth.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, pada masa pemerintahan sebelumnya dinilai telah melangkahi wewenangnya dalam keseluruhan proses penetapan PP 28/2024 dan perumusan Rancangan Permenkes di mana tidak ada pelibatan pemangku kepentingan terkait di industri tembakau serta ekosistem di dalamnya yang terdampak langsung dari regulasi tersebut.
Melihat kondisi tersebut, Elizabeth menyarankan agar pemerintahan baru perlu mempertimbangkan ulang dan menghentikan proses perumusan regulasi tersebut. Proses perumusan Rancangan Permenkes, termasuk di dalamnya aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek, perlu ditinjau ulang, dimulai dengan dialog terbuka dengan industri tembakau, pakar kesehatan, dan masyarakat sipil untuk mencari solusi yang lebih adil. Upaya ini diperlukan agar mendapatkan kebijakan yang seimbang antara pengendalian konsumsi rokok dan dampak ekonomi yang ditimbulkan.
Selain itu, Elizabeth memandang PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes berpotensi menekan penerimaan negara dari cukai rokok. Padahal, cukai rokok merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi negara, di mana data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukan realisasi penerimaan cukai hasil tembakau yang besar senilai Rp213,48 triliun hingga akhir 2023. Realisasi tersebut hanya mencapai 91,78% dari APBN 2023 atau 97,61% dari target Perpres No. 75/2023, di mana pada tahun–tahun sebelumnya penerimaan cukai tembakau selalu mengalami peningkatan dan berhasil mencapai target.
Elizabeth melanjutkan jika rencana aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Permenkes diterapkan, maka pertumbuhan peredaran rokok ilegal akan berpotensi semakin meningkat dan imbasnya tentu ke penurunan penerimaan negara yang berasal dari cukai rokok dan pajak–pajak lain terkait industri tembakau. “Penurunan penerimaan tersebut akan berdampak langsung pada kemampuan pemerintah untuk membiayai program-program pembangunan yang mendukung pertumbuhan ekonomi,” terangnya.
Selain itu, PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes juga dapat memberikan dampak negatif bagi penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Sebab, industri tembakau tidak hanya berkontribusi bagi penerimaan negara, tetapi juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signfikan. “Industri tembakau bisa terancam. Kebijakan tersebut dapat memicu peningkatan pengangguran dan menurunkan kesejahteraan masyarakat.”
Elizabeth memaparkan bahwa pemerintah perlu memberikan insentif dan dukungan fiskal kepada industri tembakau untuk membantu sektor tersebut beradaptasi dengan perubahan kebijakan, seperti melalui keringanan pajak, subsidi, atau bantuan teknis untuk meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: