Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Mengeklaim Tanah Ribuan Rakyat di Pemayungan

        Mengeklaim Tanah Ribuan Rakyat di Pemayungan Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jambi -

        Lebih dari 1000 kepala keluarga warga di enam rukun tetangga yang ada di Desa Pemayungan Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, resah.

        Bukan lantaran efek Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang baru saja usai, tapi justru ulah kabar yang  menyebut kalau tanah dan kebun yang telah mereka usahai selama ini, bakal dipasangi patok batas oleh PT. Alam Bukit Tigapuluh (ABT).

        Yang membikin mereka semakin resah, pemasangan patok batas itu bakal diboncengi oleh sejumlah aparat non  sipil. Lalu, berhembus pula kabar bahwa bagi mereka yang berupaya menghalangi pemasangan patok batas itu, akan berurusan dengan hukum. 

        Uniknya, lahan dan kebun yang telah masuk dalam SK Data dan Inventarisasi (Datin) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menjalani proses skema ultimum remedium UUCK, pun dipasangi patok oleh perusahaan.    

        Camat Sumay, Ambiar, tak menampik kabar pemasangan patok batas itu. Soalnya lelaki ini juga yang meneken surat undangan agar masyarakat datang berkumpul di Kantor Desa Pemayungan pada Senin (2/12). 

        "Biar masyarakat paham apa tujuan pemasangan patok  batas tadi dan patok-patok itu akan dipasang sesuai peta areal kerja perusahaan," katanya kepada wartaekonomi, melalui sambungan telepon, kemarin.

        Sama seperti Ambiar, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Tebo Barat, Feri Irawan juga mengatakan kalau pemasangan patok itu sesuai dengan peta areal kerja perusahaan.

        Sebab menurut dia, lahan-lahan yang dikuasai oleh  masyarakat adalah kawasan hutan yang sejak tahun 2015 lalu, telah diberikan oleh pemerintah untuk dikelolah perusahaan.

        "Kenapa begitu lama proses penataan batas tak kunjung tuntas, itu lantaran masyarakat melakukan penolakan. Nah, pemerintah mendesak agar perusahaan melakukan penataan batas, itulah makanya dilakukan lagi," katanya kepada wartaekonomi tadi malam. 

        Hanya saja saat ditanya soal seperti apa pelaksanaan amar ketujuh dari SK 7 tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menjadi dasar perusahaan memperoleh konsesi di Desa Pemayungan itu, Feri menyangkal. 

        "Saya ndak tahu itu apa BKPM. Kami berpatokan pada aturan dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). Yang jelas, tidak ada enclave. Sebab areal itu kawasan hutan," ujarnya.  

        Meski masyarakat berada di kawasan hutan kata Feri, mereka tidak akan digusur. Namun diarahkan untuk mengikuti program perhutanan sosial dan kepada masyarakat berlaku jangka benah. 

        Artinya, masyarakat tidak boleh bertanam sawit. "Sawit yang sudah kadung ada, hanya boleh dipelihara satu daur dan tidak boleh replanting. Lantaran mereka harus ikut jangka benah, maka mereka musti menanam pohon di sela sawit mereka, 100 batang per tahun," terangnya. 

        Masyarakat Berhak Menggugat

        Pada 2015 silam, PT. ABT mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Restorasi Ekosistem (IUPHH-RE) seluas 38.665 hektar dari BKPM. Izin ini dibagi dalam dua blok. Blok II berada di Pemayungan dengan luas 16.570 hektar.

        Izin bernomor: 7/1/IUPHHK-HA/PMDN/2015 tanggal 24 Juli 2015 yang diteken oleh Franki Sibarani itu masih berupa izin penunjukan meski luas arealnya sudah dituliskan. 

        Dibilang masih penunjukan lantaran pada amar kedua SK itu disebutkan bahwa; luas dan letak defenitif areal kerja IUPHHK-RE ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setelah dilaksanakan penataan batas di lapangan. 

        Lalu pada amar ketujuh SK itu; apabila di dalam areal IUPHHK-RE terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan, atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga secara sah berdasarkan peraturan perundangan, maka lahan tersebut dikeluarkan dari areal kerja IUPHHK-RE. 

        Amar kedua dan ketujuh inilah yang kemudian menjadi pegangan masyarakat. Mereka tidak mempersoalkan perusahaan berusaha di kampungnya sepanjang aturan itu dijalankan. 

        Bahasa semacam ini malah sudah dituliskan dalam lembar hasil rapat masyarakat pada 12 Juni lalu. Hasil rapat yang kemudian turut diteken oleh tiga orang petinggi desa.

        Tapi itu tadilah. Perusahaan yang disebut-sebut milik World Wide Fund (WWF) dan Frankfurt Zoological Society (FZS) ini justru  keukeuh dengan pendiriannya, bahwa berapa luasan lahan yang tertera di dalam SK tadi, segitulah luas konsesinya. 

        Maka konflik di Desa Pemayungan pun mulai terjadi sejak 2016 silam. Tak jarang perusahaan melibatkan aparat non sipil dalam menghadapi konflik itu. Sempat pula terjadi bentrok fisik di lapangan.    

        "Mestinya tidak boleh melibatkan aparat. Sebab itu sudah masuk dalam upaya intimidasi," kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Jambi, Abdullah, saat dihubungi wartaekonomi, dua hari lalu. 

        Walhi Jambi kata Abdul, sudah sejak 2011 silam melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang ada di Desa Pemayungan. Sejumlah skema untuk penyelesaian pun telah pernah disodorkan terkait persoalan antara masyarakat dan ABT. Tapi tidak digubris. 

        "Skema perhutanan sosial dan Tanah Objek Agraria (TORA), masyarakat tidak mau. Ada nggak skema lain, yang penting tanah tetap milik masyarakat," katanya. 

        Pakar Hukum Kehutanan, Dr. Sadino mengingatkan, bila pemasangan patok dipaksakan hingga kemudian lahan-lahan masyarakat masuk dalam konsesi, maka itu menjadi objek gugatan tata usaha negara. 

        "Masyarakat punya hak untuk menggugat. Sepanjang gugatan belum kelar, pengukuhan tidak akan bisa dilakukan," lelaki 58 tahun ini menerangkan. 

        Terkait amar kedua dan ketujuh di atas, menurut Sadino, di SK semua jenis kawasan hutan, diktum itu ada. Itu menandakan bahwa sedari awal, kawasan hutan tidak clear. 

        "Apapun filosofi penataan batas, tidak serta merta membatasi dan kemudian orang dikatakan ilegal. Tidak begitu. Masyarakat punya hak di sana dan harus diselesaikan. Itulah makanya ada diktum tadi," tegasnya.

        Sayang, sejak kemarin pagi hingga sekarang, juru bicara PT. ABT, Nety Riana, tak kunjung menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan wartaekonomi melalui pesan whatsapp meski sebelum yang bersangkutan meminta pertanyaan itu dikirimkan. 

        Beberapa kali kembali dikonfirmasi terkait pertanyaan itu, baik melalui pesan maupun telepon whatsapp, Nety tak kunjung merespon.       

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Abdul Aziz
        Editor: Abdul Aziz

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: