Kredit Foto: Antara/Makna Zaezar
Polemik lahan sawit ilegal kembali mencuat, kali ini dengan angka fantastis: 3,5 juta hektare sawit yang diklaim berada di kawasan hutan tanpa izin resmi. Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, menilai bahwa penyelesaian masalah ini tak bisa sekadar menggunakan pendekatan hukum semata. Ada sejarah panjang yang perlu dipahami, terutama terkait kebijakan pemerintah di masa lalu yang justru menjadi akar permasalahan ini.
Menurut Firman, banyak lahan sawit yang kini dianggap ilegal sejatinya merupakan hasil dari ketidakkonsistenan kebijakan. Ia mencontohkan, dalam proses perumusan UU Cipta Kerja, salah satu tujuannya adalah meningkatkan daya saing investasi Indonesia pasca-pandemi Covid-19. Namun, di tengah perjalanan, ditemukan fakta bahwa jutaan hektare lahan sawit telah terlanjur ditanam di kawasan hutan.
“Faktanya, kita sudah memungut pajak dari mereka. Kita juga mendapat pemasukan dari ekspor sawit. Lalu, apakah kita bisa begitu saja melepas tanggung jawab? Tidak bisa. Makanya, kami cari solusi melalui pemutihan lahan sawit yang terlanjur tertanam,” ujar Firman.
Baca Juga: Indonesia Jajaki Kolaborasi dengan Pakistan untuk Genjot Budidaya Kelapa Sawit
Setelah DPR RI dan pemerintah melakukan penyisiran data, ditemukan bahwa 3,5 juta hektare lahan sawit ilegal ini terbagi dalam tiga kategori yang pertama petani kecil dan program transmigrasi, kedua pelaku usaha yang terjebak regulasi, ketiga perusahaan yang sengaja melanggar.
Firman menegaskan bahwa kelompok yang sengaja melanggar harus diberi sanksi tegas, termasuk denda besar dan kewajiban mengembalikan lahan ke negara setelah dua siklus panen.
Masalah ini bukan hal baru. Pemerintah sebelumnya sudah mencoba menyelesaikannya dengan memberi waktu tiga tahun kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, hingga kini, masalah tersebut tak kunjung tuntas.
“Kalau ada keseriusan, seharusnya 3,5 juta hektare lahan ini bisa diselesaikan dalam 3,5 tahun. Nyatanya, tidak terselesaikan hingga pemerintahan berganti,” kata Firman.
Kini, Presiden Prabowo membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Sayangnya, tugas utama satgas ini lebih condong ke aspek penindakan hukum daripada mediasi dan penyelesaian administrasi. Firman menilai hal ini membuat para pelaku usaha sawit ketakutan dan menciptakan ketidakpastian investasi.
“Kita ingin penerimaan negara dari sawit tetap optimal, tapi di sisi lain pelaku usaha justru dijepit dengan regulasi yang berubah-ubah. Kalau begini, tujuan UU Cipta Kerja malah tidak tercapai,” tegasnya.
Baca Juga: Dari Sawit, Oleh Sawit, dan untuk Sawit! UMKM Kini Punya Peluang Emas
Kekhawatiran Firman bukan tanpa alasan. Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan penurunan produksi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO). Tercatat produksi CPO Desember 2024 sebesar 3,876 juta ton turun 10,55% dari November 2024. Kemudian, produksi PKO Desember 2024 hanya 361 ribu ton turun dari 412 ribu ton di November. Kemudian, total ekspor Desember 2024 sekitar 2,06 juta ton turun 21,88% dari November 2024.
Turunnya produksi ini berkorelasi langsung dengan menurunnya luas lahan sawit yang beroperasi akibat regulasi yang tidak jelas. Jika pendekatan hukum tetap dikedepankan tanpa solusi administratif, Firman memperingatkan bahwa penerimaan negara dari sawit akan terus anjlok.
“Jangan kedepankan sanksi pidana dulu. Selesaikan dulu administrasinya. Karena masalah ini berasal dari kebijakan pemerintah yang tidak konsisten sejak awal,” pungkasnya.
Baca Juga: Perkebunan Sawit Merupakan Lokomotif Ekonomi yang Inklusif
Baca Juga: Perkembangan Sawit di Provinsi Riau Penyebab Deforestasi? Itu Hoaks!
Sawit telah menjadi salah satu komoditas andalan Indonesia. Namun, tanpa kebijakan yang berpihak pada kepastian hukum dan solusi jangka panjang, sektor ini bisa kehilangan daya saingnya di kancah global.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri