Kredit Foto: Istimewa
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total kapasitas pembangkit listrik nasional per Mei 2025 mencapai 105 gigawatt (GW). Dari jumlah tersebut, sebanyak 78,5 GW atau 75% dikelola oleh PT PLN (Persero), baik melalui aset sendiri maupun kerja sama dengan swasta.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, menyampaikan bahwa dari total kapasitas pembangkit yang dikelola PLN, sebesar 47,5 GW berasal dari pembangkit milik sendiri, 30 GW dari Independent Power Producer (IPP) mitra PLN, dan 1 GW dari pembangkit sewa.
Sementara itu, sisanya dikelola oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri (IUPTLS) sebesar 21,46 GW atau 20%, dan Private Power Utility (PPU) sebesar 4,81 GW atau 5%.
Baca Juga: Prabowo Resmikan Operasi dan Pembangunan 55 Pembangkit EBT di 15 Provinsi
“PLN dan IPP itu totalnya 78,5 GW. Yang berbasis gas ada 23,14 GW atau 29%. Kemudian batu bara, baik itu PLTU maupun mulut tambang, mencapai 41,4 GW atau lebih dari separuh. Energi air 6,4 GW (8%), panas bumi 2,69 GW, bayu 150 MW, bioenergi 100 MW, dan PLTS 370 MW atau 1%,” jelas Jisman dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Senin (30/01/2025).
Ia menegaskan bahwa pembangkit berbasis energi fosil masih mendominasi sistem ketenagalistrikan nasional, baik yang dikelola oleh PLN maupun oleh IUPTLS dan PPU.
Khusus di luar sistem PLN, kapasitas pembangkit mencapai 26,3 GW dengan porsi PLTU mendominasi 61%, diikuti pembangkit bioenergi dan gas.
Dari sisi bauran energi, produksi listrik nasional sepanjang 2024 tercatat sebesar 408,4 terawatt jam (TWh). Komposisinya adalah batu bara 68,2%, gas 16,2%, bahan bakar minyak (BBM) 2,7%, dan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 12,9%.
Untuk 2025, pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 15,9% sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Namun, hingga Mei 2025, realisasinya baru mencapai 14,2% dan diperkirakan hanya akan naik sedikit menjadi 14,4% hingga akhir tahun.
“Sampai Mei 2025, EBT baru 14,2% atau 24,1 TWh. BBM 2,6%, gas 15,7%, batu bara 67,5%. Prognosa hingga akhir tahun, EBT-nya diperkirakan 14,4% berdasarkan pembangkit yang akan masuk,” ujarnya.
Jisman mengakui terdapat kesenjangan antara target dan realisasi bauran energi sebesar 27–28%, baik dari sisi persentase maupun volume energi. Untuk mengejar target, pemerintah mendorong teknologi co-firing biomassa di PLTU sebagai solusi pengurangan penggunaan batu bara tanpa pembangunan pembangkit baru.
Baca Juga: Transmisi Pembangkit Fosil vs EBT: Jauh di Mata, Berat di Investasi
“Ada lag antara target RUKN dengan prognosa 2025, Bapak-Ibu sekalian. Target 15,9% dibandingkan dengan prognosa 14,4%. Kalau dari sisi TWh itu 89 dibanding 61—ada gap 27–28%. Kami akan tingkatkan co-firing,” ujarnya.
Dalam peta jalan RUKN dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), bauran EBT ditargetkan meningkat menjadi 23,9% pada 2031 dan 29,4% pada 2034. Sementara dominasi batu bara ditargetkan menurun secara bertahap dari 62,6% pada 2025 menjadi 50,9% pada 2033.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo