Kredit Foto: Kejaksaan Agung
Beban utang korporasi besar kembali menjadi sorotan setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) melanjutkan pemeriksaan saksi terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian kredit sejumlah bank kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan entitas anak usaha.
Hingga Oktober 2024, outstanding kredit perusahaan tekstil tersebut tercatat menembus Rp3,5 triliun, menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas perbankan daerah maupun nasional.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, mengungkapkan bahwa Tim Jaksa Penyidik pada JAM PIDSUS, Jumat (15/8), memeriksa lima saksi, termasuk mantan Direktur Utama Bank BJB periode 2019–Maret 2025, YR, serta Presiden Direktur PT Sari Warna Asli, JCH.
Baca Juga: Iwan Kurniawan Lukminto Susul Sang Kakak Jadi Tersangka Korupsi Sritex
“Kelima orang saksi tersebut diperiksa terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, PT Bank DKI, dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah kepada PT Sritex,” ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu (16/8/2025).
Selain itu, Kejagung juga memeriksa tiga saksi dari kalangan perbankan, yakni ER selaku Manajer Korporasi 2 Bank BJB tahun 2020, NA selaku Analis Sindikasi tahun 2010 sekaligus Manajer Sindikasi Bank BNI tahun 2014, serta BN yang pernah menjabat sebagai Pemimpin Unit Sindikasi 2017–2018. Pemeriksaan dilakukan untuk memperkuat bukti dan melengkapi pemberkasan perkara.
Baca Juga: Kenapa BEI Tak Kunjung Delisting Sritex? Ini Alasannya
Data Kejagung menunjukkan, beban utang Sritex berasal dari berbagai bank. Dari Bank Jateng tercatat Rp395,66 miliar, Bank BJB Rp543,98 miliar, Bank DKI Rp149,01 miliar, serta sindikasi Bank BNI, Bank BRI, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) senilai Rp2,5 triliun. Selain itu, perusahaan juga diketahui memperoleh pinjaman dari 20 bank swasta yang saat ini masih didalami penyidik.
Kasus ini menyoroti potensi risiko sistemik yang muncul dari kredit jumbo kepada korporasi besar. Ketergantungan perbankan daerah terhadap debitur dengan kapasitas besar seperti Sritex dinilai memperbesar eksposur gagal bayar dan menggerus kepercayaan terhadap kinerja bank. Alhasil, kejagung membagi perkara ke dalam dua cluster, yaitu kredit dari BPD dan sindikasi perbankan milik pemerintah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Azka Elfriza
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait: