Sinergi Nasional Diperlukan Agar Rekening Judi Daring Tidak Lagi Lolos Sistem
Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Jutaan rekening bank dan non-bank tercatat telah digunakan oleh bandar judi daring sejak 10 tahun terakhir.
Hanya dalam lima bulan pertama tahun 2025, Bareskrim Polri menyita Rp194,7 miliar dari 865 rekening. Pada bulan Agustus, kembali disita Rp154,3 miliar dari 811 rekening.
Sejumlah kepolisian daerah juga mengungkap berbagai modus jual-beli rekening. Polres Metro Jakarta Barat, misalnya, berhasil membongkar sindikat jual-beli rekening dengan barang bukti 713 kartu ATM dan 370 buku tabungan. Sementara itu, Polresta Sidoarjo menemukan praktik jual-beli data pribadi yang kemudian dikirim ke Kamboja dan Taiwan.
Meskipun demikian, menurut Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, upaya tersebut masih jauh dari cukup. Jika dibandingkan dengan skala jutaan rekening aktif maupun dormant yang digunakan untuk judi online, penindakan yang telah dilakukan selama ini baru menyentuh sebagian kecil saja.
“Selama ini polisi fokus ke pemain, admin, atau pengepul rekening. Padahal, rekening tidak mungkin lahir tanpa pintu bank atau lembaga keuangan non-bank,” ujar Iskandar, Kamis malam (28/8/2025).
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) Nomor 8 Tahun 2010 secara jelas menyatakan bahwa siapa pun yang membantu menempatkan atau menyamarkan hasil kejahatan dapat dijerat pidana. Menurutnya, kelalaian bank dalam meloloskan dokumen palsu atau membiarkan transaksi mencurigakan seharusnya cukup untuk dijadikan dasar penindakan hukum.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Perbankan nomor 10 tahun 1998 mewajibkan setiap bank menjalankan prinsip kehati-hatian. Ketika prinsip ini dilanggar, sanksi tidak bisa hanya bersifat administratif, apalagi jika terbukti rekening tersebut dipakai untuk praktik judi daring.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) APU-PPT nomor 8 tahun 2023 bahkan sudah mewajibkan verifikasi biometrik, pelaporan transaksi mencurigakan, dan enhanced due diligence. Jika bank gagal menjalankan kewajiban tersebut, maka seharusnya konsekuensinya tidak hanya denda, melainkan juga sanksi pidana dan perdata.
Baca Juga: PPATK Blokir 122 Juta Rekening Dormant, 180 Ribu Terhubung ke Judi Online
"Artinya, instrumen hukum sudah lengkap. Yang kurang hanyalah keberanian politik aparat penegak hukum," tegas Iskandar
Sejak 2015, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah berulang kali menemukan kelemahan sistemik dalam sistem keuangan. Antara tahun 2015 hingga 2017, ditemukan ribuan rekening pemerintah daerah berstatus dormant namun memiliki saldo miliaran rupiah. Pada 2018 hingga 2020, terungkap identitas palsu yang lolos prosedur know your customer (KYC) serta transaksi mencurigakan yang tidak dilaporkan.
Temuan kelemahan berlanjut pada tahun 2021 hingga 2022, di mana banyak rekening digital dibuka hanya dengan swafoto tanpa validasi yang memadai, serta pengawasan terhadap BI-FAST dan QRIS yang dinilai longgar. Terakhir, sepanjang 2023 hingga 2024, ditemukan 2.115 rekening milik instansi pemerintah dalam kondisi dormant dengan total saldo mencapai Rp500 miliar, serta 15 kasus fraud by omission yang melibatkan oknum perbankan.
“Temuan audit ini adalah bukti bahwa pagar keuangan kita bolong dari dalam. Ini bisa jadi pintu masuk bagi Polisi, tidak sulit karena sudah ada bukti audit bukan?” ujarn Iskandar
Dia mempertanyakan mengapa bank masih bisa lolos dari jeratan hukum. Menurutnya, ada beberapa penyebab, seperti fragmentasi pengawasan, di mana OJK hanya dapat menjatuhkan sanksi administratif, PPATK hanya memberikan analisis, dan polisi lebih banyak fokus kepada pelaku lapangan. Di sisi lain, pembuktian niat jahat dalam kelalaian bank juga dianggap rumit karena sering diklasifikasikan sebagai pelanggaran administratif, bukan pidana.
Menurutnya, political economy atau pandangan bahwa bank adalah pilar ekonomi juga membuat aparat penegak hukum cenderung enggan menyeret lembaga tersebut ke pengadilan. Selain itu, belum adanya yurisprudensi putusan pengadilan sebelumnya yang menghukum bank karena keterlibatannya dalam rekening judi daring juga membuat langkah penindakan belum memiliki preseden.
Iskandar menyebut bahwa polisi harus “naik kelas” dalam penyidikan kasus judi daring. Menurutnya, penyitaan rekening saja tidak cukup. Harus ada pengembangan penyidikan terhadap bank atau lembaga keuangan penerbit rekening tersebut. UU TPPU, khususnya Pasal 3 dan 5, seharusnya bisa digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang lalai dalam proses verifikasi atau yang membiarkan rekening digunakan untuk aktivitas ilegal.
Koordinasi antar lembaga seperti PPATK, OJK, dan Bareskrim juga dinilai penting. Ia menyarankan pembentukan tim audit forensik khusus untuk menelusuri bank atau fintech yang kerap digunakan oleh bandar judi daring. Tak hanya itu, ia juga mendorong penerapan sanksi berlapis; mulai dari denda administratif, pidana terhadap oknum, hingga gugatan perdata atas kerugian negara.
Baca Juga: BPK Ungkap Tantangan Pengawasan Perbankan, Dorong Penguatan Regulasi Anti Judi Online
Tekanan publik, juga berperan besar. Salah satu cara efektif adalah dengan mempublikasikan daftar bank atau fintech dengan jumlah rekening judi terbanyak agar mereka tidak lagi bisa bersembunyi di balik reputasi baik.
“Jika hanya pemain dan admin yang ditangkap, sementara bank/fintech yang melahirkan rekening tetap aman, maka siklus akan terus berulang,” kata Iskandar.
Iskandar menekankan bahwa seluruh institusi keuangan negara, termasuk Bank Indonesia, OJK, PPATK, Bursa Efek Indonesia, Kepolisian, Kejaksaan, hingga pengadilan, tidak boleh kalah oleh kapitalisme hitam bernama judi daring.
“Polisi punya kewenangan, dasar hukum, dan dukungan audit untuk menyeret penerbit rekening ke meja hijau. Sudah saatnya pagar utama sistem keuangan tidak lagi bolong dari dalam!” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: