Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Publik Apresiasi Niat Baik Kemenkeu, Dorong SAL Rp200 Triliun Transparan dan Tepat Guna

        Publik Apresiasi Niat Baik Kemenkeu, Dorong SAL Rp200 Triliun Transparan dan Tepat Guna Kredit Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang akan memindahkan Rp200 triliun Saldo Anggaran Lebih (SAL) dari Bank Indonesia ke bank-bank pelat merah (Himbara) menuai sorotan publik.

        Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan secara matang agar tidak menimbulkan blunder fiskal.

        "Tujuannya katanya mulia, yaitu biar sektor riil menggeliat, kredit mudah, dan ekonomi rakyat bisa berputar lebih cepat. Tapi pertanyaannya, apakah dananya sudah benar-benar disalurkan ke bank?" ujar Iskandar, Selasa (16/9/2025).

        Iskandar menyebut hingga saat ini belum ada bukti publik atau dokumen resmi yang menunjukkan dana Rp200 triliun tersebut benar-benar masuk ke rekening Himbara dan siap disalurkan sebagai kredit.

        Menurutnya, yang ada baru rencana, pernyataan lisan, serta pengumuman distribusi nominal: BRI, Mandiri, dan BNI mendapat sekitar Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun. Namun, realisasi fisiknya belum terlihat nyata.

        "Artinya, ini masih di tahap akan, bukan sudah," kata Iskandar.

        Meski mengapresiasi niat baik Menteri Keuangan, Iskandar mengingatkan bahwa nilai Rp200 triliun bukan jumlah kecil. Karena itu, kebijakan tersebut harus dijalankan secara transparan, akuntabel, dan sesuai aturan konstitusi.

        Baca Juga: Prudential-Kemenkes Kolaborasi Perkuat Sistem Data Kesehatan Nasional

        "Tapi justru karena angkanya jumbo, yaitu Rp200 triliun bukan receh, maka IAW ingin beri masukan sebelum niat baik itu jadi blunder fiskal," ujarnya.

        Iskandar kemudian menyampaikan lima poin penting serta merujuk pada data Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK selama 20 tahun terakhir yang menunjukkan pengelolaan SAL belum pernah sepenuhnya steril dari temuan audit.

        Menurutnya, dana sebesar itu harus tercatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan persetujuan DPR, bukan hanya keputusan teknokrat di kementerian.

        "LHP BPK tahun 2014–2016 menunjukkan, penempatan dana SAL dan cadangan kas tidak sepenuhnya transparan dan tidak disampaikan secara utuh dalam laporan realisasi anggaran, terutama yang dikaitkan dengan investasi pemerintah dan PMN (Penyertaan Modal Negara)," jelas Iskandar.

        Selain itu, penggunaan dana juga harus disertai dashboard dan laporan real-time. Publik berhak tahu siapa penerima manfaat, bagaimana sektor kecil ikut merasakan dampaknya, dan ke mana aliran bunga pinjaman.

        "Lagian, LHP BPK atas LKPP 2019 dan 2021 menyoroti bahwa pemerintah belum menyajikan informasi yang memadai atas penggunaan SAL, serta lemahnya kontrol atas outcome fiskal dari SAL yang sudah digunakan untuk program PEN maupun PMN ke BUMN," ungkapnya.

        Iskandar mengingatkan agar penyaluran dana tidak berujung pada kredit untuk konglomerat. Ia khawatir bank pelat merah lebih tertarik menyalurkan kredit ke sektor besar, seperti tambang dan properti, daripada ke petani, nelayan, dan UMKM.

        "Lihat LHP BPK semester I tahun 2023 (Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester/IHP S1) mencatat adanya risiko mismatch antara tujuan awal kebijakan fiskal dan penyaluran faktual, termasuk pada penempatan dana pemerintah yang tidak menghasilkan multiplier effect signifikan," jelasnya.

        Lebih lanjut, ia menekankan BPK harus dilibatkan sejak awal, bukan setelah terjadi masalah. Berdasarkan catatan IAW, SAL berkali-kali menjadi temuan audit.

        "Lalu, LHP BPK 2008 dan 2010 bahkan menyebut bahwa pencatatan kelebihan kas (SAL) yang dikelola BI tidak didukung basis data akurat dan sering disalurkan tanpa dokumentasi lengkap dalam pelaporan," jelasnya.

        Baca Juga: Bukan 6 Bulan, Menkeu Purbaya Sebut Jangka Waktu Penempatan Dana Pemerintah: Biar Mereka Mikir 

        Iskandar juga meminta DPR dilibatkan aktif karena pengelolaan keuangan negara wajib melalui mekanisme APBN sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 dan UU 17/2003.

        "Dalam banyak rekomendasi LHP, BPK menyarankan penguatan peran legislatif untuk ikut dalam monitoring kebijakan strategis fiskal, terutama yang melibatkan saldo anggaran atau cadangan kas nasional," tutur Iskandar.

        Meski demikian, Iskandar menegaskan pihaknya tidak menolak inovasi fiskal. Namun, ia mengingatkan agar kebijakan pengelolaan keuangan negara tidak dijadikan eksperimen, apalagi di tengah situasi politik dan transisi pemerintahan.

        "Rp200 triliun itu bisa mengubah nasib jutaan rakyat kalau dikawal dengan akal sehat, etika fiskal, dan pengawasan publik. Tapi bisa juga jadi pintu masuk ‘pemutihan besar-besaran’ buat kredit macet bank plat merah, kalau tak dikendalikan sejak dini," ucapnya.

        Menurut Iskandar, IAW akan terus mendukung pemerintah selama niat baik tersebut tidak menyimpang.Baca Juga: Purbaya Kritik Rocky Gerung, Singgung Peran Jokowi Selamatkan Ekonomi

        "Pak Purbaya, rakyat mau Anda sukses. Tapi sukses yang sah, transparan, dan terasa ke bawah. Jangan biarkan kebijakan ini jadi bom waktu. Libatkan rakyat sejak awal, dan kembalikan uang negara ke jalur konstitusi," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: