Kredit Foto: Kejaksaan Agung
Kejaksaan Agung (Kejagung) memproyeksikan kerugian negara mencapai Rp692,98 miliar akibat pemberian kredit bermasalah kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan entitas anak usahanya.
Kasus yang menyeret sejumlah pejabat perbankan daerah ini kini memasuki tahap penuntutan setelah dilakukan serah terima tersangka dan barang bukti (Tahap II) pada Selasa, 16 September 2025.
Tiga tersangka yang diserahkan penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Surakarta adalah ISL selaku Komisaris Utama PT Sritex, ZM selaku Direktur Utama PT Bank DKI tahun 2020, serta DS selaku Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank BJB tahun 2020.
“Setelah dilakukan Tahap II, tim Jaksa Penuntut Umum akan segera mempersiapkan surat dakwaan untuk pelimpahan berkas perkara tersebut ke Pengadilan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, dalam keterangan tertulis, Selasa (16/9/2025).
Baca Juga: Sritex Utang Rp3,5 Triliun, Kejagung Panggil 5 Saksi
Kasus ini bermula dari temuan penyidik yang menyoroti laporan keuangan Sritex pada 2021. Perusahaan tekstil tersebut melaporkan kerugian USD 1,08 miliar atau setara Rp15,65 triliun, padahal setahun sebelumnya masih mencatat laba USD 85,32 juta atau Rp1,24 triliun.
“Jadi ini ada keganjilan dalam satu tahun mengalami keuntungan signifikan kemudian tahun berikutnya juga kerugian yang sangat signifikan. Inilah konsentrasi dari teman-teman penyidik,” kata mantan Direktur Penyidikan JAM PIDSUS, Abdul Qohar.
Penyidik menemukan indikasi pelanggaran dalam pemberian kredit modal kerja kepada Sritex dari Bank Jateng, Bank BJB, Bank DKI, serta sindikasi BRI, BNI, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan total tagihan belum dilunasi Rp3,58 triliun. Dari jumlah itu, pinjaman dari Bank BJB sebesar Rp533,98 miliar dan Bank DKI Rp149 miliar masuk kategori macet.
Baca Juga: Kejagung Periksa 7 Saksi Kasus Dugaan Korupsi Kredit ke PT Sritex
Kejanggalan juga ditemukan dalam penggunaan kredit. Dana yang seharusnya digunakan untuk modal kerja, justru dipakai untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif. Penyidik menilai tindakan tersebut melanggar prinsip kehati-hatian perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Selain itu, hasil pemeringkatan surat utang Sritex oleh Fitch dan Moody’s yang hanya mendapat predikat BB-—berisiko gagal bayar—tidak sesuai syarat minimum peringkat A yang berlaku untuk kredit modal kerja. Namun, kredit tetap dikucurkan oleh bank terkait.
Atas perbuatannya, para tersangka didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Proses hukum akan berlanjut ke tahap persidangan di Pengadilan Tipikor setelah JPU rampung menyusun surat dakwaan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: