Tuduhan KPPU Soal Kartel Bunga Pinjaman Daring Dinilai Bisa Ganggu Iklim Investasi
Kredit Foto: Istimewa
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, menegaskan bahwa tuduhan kartel bukanlah perkara mudah dibuktikan karena memerlukan bukti yang sangat kuat.
“Pembuktian kartel itu sulit. Harus ada bukti kesepakatan yang jelas, insentif yang kuat, serta keterlibatan aktif antarperusahaan. Tanpa itu, sulit menyatakan adanya kartel,” kata Ningrum merespon kasus dugaan kartel bunga di industri pinjaman fintech lending yang dipermasalahkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Sebelumnya, KPPU menduga 97 fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman daring (daring) yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersamaan Indonesia (AFPI) menyepakati besaran bunga pinjaman secara bersama-sama.
Permasalahan yang disorot KPPU yakni kesepakatan bunga 8,0% pada 2018 dan 0,4% pada 2021. Keputusan besaran bunga itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Code of Conduct AFPI.
Baca Juga: AFPI Tegas Bantah Tuduhan Kartel Bunga Fintech di KPPU
Nigrum menilai bahwa dalam konteks fintech, peran regulator sangat dominan. “Jika batas bunga ditetapkan berdasarkan arahan OJK, maka hal ini berbeda dengan kartel murni. Regulator memiliki otoritas untuk membuat kebijakan demi melindungi konsumen, dan asosiasi hanya menjalankan perintah tersebut,” jelasnya.
Ningrum juga menegaskan bahwa kebijakan penetapan batas atas bunga seharusnya dipandang dari perspektif perlindungan konsumen. “Kebijakan harga tertinggi itu ada untuk melindungi konsumen dari praktik predator. Konsumen di Indonesia cukup sensitif terhadap kenaikan harga, seperti yang pernah kita lihat pada kasus minyak goreng,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah melalui OJK memiliki kewajiban memastikan aksesibilitas dan keterjangkauan bagi masyarakat. “Dalam konteks ini, kehadiran OJK setara dengan lembaga-lembaga negara lain seperti KPK, karena substansinya adalah menjaga kepentingan publik,” katanya.
Dalam analisisnya, Ningrum juga mengingatkan bahwa industri fintech lending termasuk dalam pasar yang cenderung oligopolistik, yakni beberapa pemain besar dapat mempengaruhi arah pasar. Namun, tidak otomatis hal itu berarti ada kartel.
Baca Juga: Pindar Jadi Jebakan Utang Digital, Komisi XI Dukung KPPU Tindak Tegas Praktik Kartel Pindar
“Dalam pasar oligopoli, strategi satu perusahaan bisa memengaruhi yang lain. Tapi itu belum tentu berarti ada kesepakatan tersembunyi. Kartel adalah kesepakatan tersembunyi untuk mengatur harga atau membagi pasar. Itu yang harus dibuktikan oleh KPPU,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ningrum menekankan pentingnya kepastian hukum bagi dunia usaha. “Jika tuduhan kartel tidak jelas dasarnya, hal ini bisa mengganggu iklim investasi. Padahal fintech adalah sektor yang sedang tumbuh dan memberi akses keuangan pada jutaan masyarakat,” katanya.
Ia juga mengingatkan pentingnya edukasi kepada masyarakat agar memahami perbedaan antara fintech legal dan ilegal.
Kasus dugaan kartel suku bunga fintech yang tengah disidangkan KPPU saat ini menempatkan banyak perusahaan fintech, termasuk OVO Finansial.
Baca Juga: Pakar Hukum Ungkap Istilah Kartel Sering Disalahgunakan dalam Kasus Persaingan Usaha
Komisaris OVO Finansial, Karaniya Dharmasaputra, menegaskan bahwa pihaknya selalu patuh pada regulasi dan justru menetapkan bunga jauh di bawah ketentuan batas atas.
“Kami tidak senang dengan kartel. Kartel merugikan konsumen. Kami di OVO Finansial menentang adanya kartel,” kata dia.
Karaniya menjelaskan bahwa penetapan batas atas suku bunga bukanlah hasil persekongkolan antarperusahaan fintech, melainkan arahan langsung dari regulator. “Penetapan batas atas suku bunga adalah hal yang lazim dalam perekonomian. Tujuannya untuk melindungi konsumen dari penetapan harga yang sewenang-wenang," katanya.
"OVO Finansial tidak pernah terlibat dalam praktik kartel. Kami justru selalu menetapkan suku bunga di bawah batas atas yang ditetapkan oleh asosiasi atas arahan OJK,” pungkas Karaniya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri