Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        PLN Ungkap Tantangan Jumbo di Balik RUPTL 2025–2034

        PLN Ungkap Tantangan Jumbo di Balik RUPTL 2025–2034 Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        PT PLN (Persero) mengungkap sejumlah tantangan dan langkah besar dalam menjalankan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.

        Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN, Suroso Isnandar, menyoroti adanya ketimpangan sebaran potensi energi baru terbarukan (EBT) dengan lokasi permintaan listrik. Tak hanya itu pengembangan RUPTL dalam dekade ke depan membutuhkan investasi jumbo senilai USD 180 miliar atau sekitar Rp3.000 triliun yang menuntut kolaborasi erat antara pemerintah, swasta, dan industri pendukung energi.

        “Kalau kita lihat potensi energi baru terbarukan, ternyata sangat melimpah. Surya mencapai 3.000 gigawatt, tetapi yang sudah terutilisasi baru 0,3 gigawatt. Hidro 95 gigawatt, utilisasi 6,3 gigawatt. Geotermal 24 gigawatt, baru 2,3 gigawatt. Artinya, pemanfaatan EBT baru sekitar 0,2 persen dari total potensi,” ujar Suroso dalam peluncuran Electricity Connect 2025 di Jakarta, Selasa (7/10/2025).

        Baca Juga: Indonesia Dorong ASEAN Power Grid, PLN Siap Jadi Pusat Energi Bersih Asia Tenggara

        Menurutnya, jika 10 persen dari total potensi energi terbarukan dapat dimanfaatkan, Indonesia akan memiliki sistem energi yang sangat kuat. Namun, tantangan muncul karena ketimpangan lokasi antara sumber energi dan pusat permintaan listrik.

        “Kalau kita lihat demand yang akan tumbuh di PLN hingga 2034, permintaan yang sekarang kurang lebih 300 terawatt hour akan meningkat drastis menjadi 511 terawatt hour,” ungkapnya.

        Suroso menambahkan, “Sayangnya, pusat permintaan terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera, sementara potensi hidro banyak tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Ketimpangan epicentrum of demand ini akan menjadi tantangan yang cukup berat dalam transisi energi.”

        Baca Juga: PLN Ubah Limbah Jagung Jadi Uang, Petani Tuban Raup Untung

        Untuk mengatasi hal tersebut, PLN mendorong pembangunan sistem transmisi besar bernama Green Enabling Supergrid. Infrastruktur ini akan mengevakuasi energi terbarukan dalam jumlah besar dari wilayah sumber ke pusat permintaan.

        “Transmisi yang harus kita bangun mencapai 48 ribu kilometer sirkuit, atau sekitar 8 ribu kilometer rute. Besarnya setara dengan keliling bumi lebih dari satu kali. Dan saya yakin anggota MKI juga banyak yang dari pabrik konduktor. Jadi, ini salah satu business opportunity untuk 10 tahun ke depan yang harus kita antisipasi,” ujarnya.

        Suroso menjabarkan, dalam RUPTL 10 tahun mendatang, PLN menargetkan tambahan kapasitas sebesar 69,5 gigawatt (GW), dengan 42,1 GW berasal dari energi terbarukan. Rinciannya meliputi bayu 7,2 GW, surya 17,1 GW, geotermal 5,2 GW, hidro 11,7 GW, dan bioenergi 0,9 GW. Sementara dari non-EBT, akan dibangun 10 GW pembangkit gas serta 6,3 GW PLTU mine mouth.

        “Apakah kombinasi ini sudah ideal untuk menjamin reliability of system? Belum. Karena itu, kita perlu membangun teknologi baru yaitu battery energy storage system sebesar 6 GW atau setara 27 GWh, serta pumped hydro storage 4,3 GWh. Dengan kombinasi seperti ini, maka 76 persen energi terbarukan dapat menjamin keandalan sistem karena tersedia renewable energy yang menjadi base load,” tuturnya.

        Baca Juga: Proses Rekrutmen PLN Transparan, Masyarakat Diminta Abaikan Tawaran Kelulusan Berbayar

        Namun, ia mengingatkan bahwa pada akhir 2034, Indonesia juga perlu membuka opsi energi nuklir sebesar 500 MW dan meningkat menjadi 7.000 MW pada 2040.

        “Kalau ini kita laksanakan, maka target power and energy akan bisa melebihi apa yang ditetapkan dalam RUKN di penghujung tahun 2034, yaitu 34,3 persen,” kata Suroso.

        PLN memperkirakan kebutuhan investasi mencapai USD 180 miliar atau sekitar Rp3.000 triliun dalam 10 tahun ke depan. Dana tersebut mencakup pengembangan pembangkit EBT, battery storage, transmisi, distribusi, hingga smart grid.

        “PLN tidak akan bisa sendiri dalam investasi sebesar itu. PLN hanya mampu sekitar Rp550 triliun atau 20 gigawatt. Selebihnya kita serahkan kepada private sector, Rp1.600 triliun untuk 49,1 gigawatt. Jadi, kolaborasi dengan non-PLN akan menjadi sangat penting, bahkan lebih penting dibanding sebelumnya,” tegasnya.

        Baca Juga: Tak Pernah Rugi Sejak 2013, INDEF Sebut Kinerja Keuangan PLN Sangat Baik

        Lebih lanjut, Suroso menambahkan bahwa program RUPTL ini berpotensi menciptakan 1,7 juta lapangan kerja hijau (green jobs), yang setara dengan tambahan pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 1 persen.

        “RUPTL kalau kita laksanakan akan menjadi salah satu penopang target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Karena itu, we need to collaborate, we need to co-invest, co-innovate, co-secure energy sehingga tercipta energy resilience yang menjamin power sovereignty,” tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
        Editor: Djati Waluyo

        Bagikan Artikel: