ICJL Kritik Keras Kebijakan Energi Prabowo–Gibran: Populis tapi Merusak Alam
Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dinilai memperkuat model ekonomi ekstraktif yang mengancam lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM).
Pendiri Indonesia Climate Justice Literacy (ICJL), Firdaus Cahyadi, menyatakan keprihatinan mendalam atas arah kebijakan tersebut yang dinilai mendorong “bunuh diri ekologi” melalui narasi pembangunan populis.
“Di satu sisi, Presiden Prabowo menjanjikan penghentian PLTU batu bara dan target 100% energi terbarukan di forum global. Di sisi lain, arah kebijakan dalam negeri justru memfasilitasi ekspansi tambang dan proyek energi dengan daya rusak tinggi,” ujar Firdaus dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (18/10/2025).
Baca Juga: Finalisasi Perpanjangan IUPK Freeport Dijadwalkan Oktober, Pemerintah Tawar Saham 12%
ICJL menyoroti terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang memberikan hak istimewa kepada koperasi dan organisasi masyarakat (ormas) untuk mengelola wilayah tambang hingga 2.500 hektare.
“Ini bukan terobosan ekonomi pro-rakyat, tapi bunuh diri ekologi yang dibungkus rapi dengan narasi pemerataan ekonomi. Ini membuka pintu bagi eksploitasi alam yang lebih masif,” tegas Firdaus.
Menurut ICJL, kebijakan transisi energi juga disalahartikan. Peta Jalan Transisi Energi melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 memprioritaskan co-firing biomassa di PLTU.
Baca Juga: Persoalan Polusi Udara Kian Kompleks, PLTU Kerap Jadi Kambing Hitam
Hal itu, kata Firdaus, mendorong permintaan besar terhadap pelet dan serpih kayu, yang memicu ekspansi Hutan Tanaman Energi (HTE). “Ekspansi ini tidak hanya berpotensi merusak kawasan hutan, tetapi juga telah memicu konflik agraria,” ujarnya.
Ia mencontohkan riset Sajogyo Institute yang menemukan praktik penanaman tanaman energi di lahan yang sedang dalam proses sertifikasi hak milik masyarakat di Grobogan, Jawa Tengah.
ICJL juga menyoroti penyempitan ruang sipil dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan proyek-proyek yang diklaim sebagai transisi energi, seperti PLTP dan HTE.
Menurut Firdaus, banyak penyelenggara proyek di lapangan mengabaikan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).
“Kasus penolakan warga Pocoleok, NTT, terhadap proyek PLTP adalah bukti nyata pengabaian FPIC. Masyarakat lokal seringkali tidak mendapat informasi yang memadai,” katanya.
Baca Juga: Percepat Transisi Energi, PLN Icon Plus Groundbreaking VPP Pertama di Bali
Lebih lanjut, ICJL mengutip penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2024 yang menunjukkan potensi konflik kepentingan serius di sektor energi terbarukan.
“Sebagian besar pemain bisnis energi terbarukan di Indonesia adalah perusahaan yang sebelumnya beroperasi di sektor ekstraktif, termasuk tambang batu bara,” kata Firdaus.
“Sebagian besar pemilik perusahaan ini memiliki kedekatan erat dengan elite politik di lingkar kekuasaan. Ini menunjukkan transisi energi hanya menjadi pengalihan bisnis lama ke kemasan baru dengan potensi konflik kepentingan yang sama," tambahnya.
Dalam momentum setahun pemerintahan Prabowo–Gibran, ICJL mengajak publik untuk bersuara dan mendesak pemerintah mengoreksi arah pembangunan ekonomi ekstraktif.
Baca Juga: Akselerasi Transisi Energi, PLN Dukung penuh Electricity Connect 2025
“Tanpa desakan publik yang kuat, para elite politik membawa kita semua kepada tindakan bunuh diri ekologi.Jika itu terjadi maka mayoritas rakyat, sebagai pembayar pajak, menjadi tumbal model pembangunan ekstraktif itu,”tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo