Sidang Sengketa Nikel PT Position dan PT WKM di Halmahera Timur, Ahli Beberkan Temuan Lapangan, Ahli Hukum Sarankan Penyelesaian Nonpidana
Kredit Foto: Istimewa
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang perkara pidana terkait sengketa lahan nikel yang melibatkan PT Position dan PT Wana Kencana Mineral (WKM) di Halmahera Timur.
Sidang pada Rabu, 22 Oktober 2025, menghadirkan dua ahli, yaitu Chairul Huda (ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta) dan Ougy Dayyantara (ahli pertambangan).
Ahli pertambangan, Ougy Dayyantara, memaparkan analisisnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018. Ia menyatakan bahwa kegiatan penambangan mencakup tahapan pembukaan lahan, penggalian, dan pengambilan mineral.
Berdasarkan pemeriksaan data lapangan yang disajikan di persidangan, Ougy menyebutkan adanya pembukaan jalan hauling yang melebihi 100 meter dan kedalaman galian hingga 20 meter.
“Berdasarkan foto dan video yang ada, kegiatan yang terlihat tidak hanya sekadar pembukaan jalan, tetapi telah menunjukkan indikasi aktivitas pertambangan,” jelas Ougy di hadapan majelis hakim.
Ia juga menyoroti temuan material nikel yang ditemukan di sekitar area jalan. Menurutnya, nikel sebagai sumber daya strategis yang dikuasai negara memerlukan pengelolaan yang tepat. “Semestinya ada pihak yang berwenang memastikan hal-hal seperti ini tidak terjadi,” tambahnya.
Mengenai pemasangan patok batas wilayah tambang, Ougy menegaskan bahwa hal tersebut merupakan kewajiban bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021. Aktivitas pertambangan di luar izin, menurutnya, tidak diperbolehkan tanpa persetujuan dari Kepala Teknik Tambang (KTT) di wilayah yang berdekatan.
Sementara itu, ahli hukum pidana, Chairul Huda, menyampaikan pendapat bahwa sengketa ini lebih tepat diselesaikan melalui jalur administratif atau perdata, bukan pidana. Menurutnya, konflik yang muncul antara dua perusahaan terkait klaim wilayah IUP mencerminkan perbedaan kepentingan korporasi.
“Jika terdapat sengketa antarperusahaan mengenai batas wilayah, seharusnya diselesaikan melalui mekanisme hukum perdata atau administratif. Hukum pidana seyogianya menjadi ultimum remedium, atau upaya terakhir ketika jalur lain tidak berhasil,” ujar Chairul Huda.
Ia juga menyentuh soal Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara PT Position dan PT Wana Kencana Sejati (WKS). Menurutnya, aktivitas PT Position di area tersebut dapat dianggap sah selama tidak melampaui ketentuan perjanjian. Namun, ia mengingatkan pentingnya perlindungan kawasan hutan dan kepastian hukum, yang menjadi tanggung jawab pemegang hak pengelolaan hutan, agar sumber daya alam dapat terlindungi.
Kuasa hukum dari dua karyawan PT WKM yang menjadi terdakwa, Otto Cornelis Kaligis, menyatakan bahwa kliennya adalah pemegang IUP yang sah. Oleh karena itu, tindakan pemasangan patok di wilayah yang diyakini sebagai area IUP-nya tidak seharusnya dikategorikan sebagai tindak pidana.
“Pada dasarnya, perkara ini tidak seharusnya dibawa ke pengadilan. Klien kami adalah pemegang IUP yang bertindak untuk melindungi wilayah konsesinya,” ujar Kaligis.
Kuasa hukum lainnya, Rolas Sitinjak, menyatakan bahwa keterangan kedua ahli justru menguatkan posisi PT WKM. “Ahli hukum pidana sendiri menyatakan bahwa jika patok dipasang di wilayahnya sendiri, ini bukan delik pidana. Ini semakin memperjelas bahwa perkara ini seharusnya tidak perlu masuk ke ranah pidana,” kata Rolas.
Rolas juga menyampaikan bahwa PT WKM telah beberapa kali melakukan upaya komunikasi dan mengirimkan surat untuk menyelesaikan sengketa secara damai sebelum kasus ini dilaporkan ke pihak kepolisian. Menurutnya, penyelesaian secara administratif antarperusahaan dan kementerian terkait seharusnya menjadi opsi utama.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: