Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Petani Sawit Peringatkan B50 Bisa Bikin Harga TBS Ambruk

        Petani Sawit Peringatkan B50 Bisa Bikin Harga TBS Ambruk Kredit Foto: SPKS
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Rencana pemerintah meningkatkan kadar pencampuran biodiesel menjadi B50 kembali menuai sorotan. Meski bertujuan mempercepat transisi energi hijau, kebijakan ini dinilai berpotensi menimbulkan efek domino terhadap industri kelapa sawit dan kesejahteraan petani kecil. Tak hanya ekspor yang berisiko turun hingga 5 juta ton, harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani pun terancam anjlok.

        Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin, mengingatkan bahwa kebijakan B50 hampir pasti akan diikuti kenaikan Pungutan Ekspor (PE) yang saat ini berada di kisaran 10% untuk menutup subsidi biodiesel. Menurutnya, beban finansial tersebut justru akan beralih ke pundak petani.

        “Kalau kadar biodiesel dinaikkan ke B50, otomatis tarif PE juga naik. Akibatnya harga TBS bisa turun antara Rp1.000 hingga Rp2.000 per kilogram. Artinya, beban subsidi biodiesel justru ditanggung oleh petani yang seharusnya menerima manfaat,” ujar Sabarudin dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (24/10/2025).

        Baca Juga: Produksi B40 Capai 750 Ribu Barel, Kilang Plaju Siap Tancap Gas B50

        Mengutip kajian Pranata UI, kekhawatiran SPKS dinilai wajar. Setiap kenaikan 1% tarif PE berpotensi menekan harga TBS sekitar Rp333 per kilogram. Jika pemerintah menaikkan PE hingga 15,17% untuk mendanai program B50, harga sawit di tingkat petani bisa anjlok hingga Rp1.725 per kilogram.

        “Dampak ini paling berat bagi petani swadaya yang tidak punya posisi tawar. Mereka menanggung rugi tanpa pernah ikut menikmati keuntungan dari program biodiesel yang katanya pro rakyat,” lanjutnya.

        Sabarudin menegaskan, SPKS tidak menolak kebijakan energi hijau. Namun, ia mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pendanaan dan distribusi manfaat program biodiesel. Tanpa pembenahan, kebijakan transisi energi ini justru berpotensi menciptakan ketimpangan baru di sektor sawit, di mana petani kembali menjadi pihak yang dikorbankan atas nama keberlanjutan.

        Baca Juga: Kebutuhan CPO Melonjak, DMO Jadi Opsi Jamin Pasokan untuk Program B50

        Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, menilai kebijakan B50 seharusnya didasarkan pada evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program B40 yang saat ini berjalan. Menurutnya, sebelum melangkah lebih jauh, pemerintah harus memastikan efektivitas implementasi B40.

        “Pemerintah harus melihat bagaimana dampak terhadap peningkatan produksi di sisi hulu dan peningkatan nilai tambah industri. Termasuk juga peningkatan kesejahteraan petani. Pemerintah harus melakukan asesmen terhadap dampak dari kebijakan B40 yang saat ini telah dilakukan,” ujarnya.

        Abra mengingatkan, rencana kebijakan B50 berisiko memperlebar kesenjangan bila diterapkan tanpa persiapan matang. Kajian Pranata UI menunjukkan potensi risiko besar yang akan dihadapi jika kebijakan ini dipaksakan. Dari sisi kapasitas, industri biodiesel nasional baru mampu menghasilkan sekitar 16,7 juta kiloliter, sementara kebutuhan aktual mencapai sekitar 19 juta kiloliter jika program B50 diterapkan.

        Artinya, kapasitas industri belum sepenuhnya siap menghadapi lonjakan permintaan bahan bakar nabati tersebut. Abra juga menyoroti masalah mendasar kebijakan biofuel di Indonesia, yakni lemahnya reformasi subsidi bahan bakar minyak, khususnya solar. Berdasarkan data INDEF, 96% subsidi solar justru dinikmati oleh kelompok yang tidak berhak.

        Baca Juga: Ketergantungan Impor Metanol Jadi Batu Sandungan Implementasi B50 Tahun Depan

        “Kita masih menghadapi masalah risiko kenaikan beban subsidi untuk menutup selisih harga antara biofuel dengan solar,” tambahnya.

        Di sisi lain, terdapat dilema besar dalam menjaga keseimbangan antara harga minyak sawit mentah (CPO) dan perlindungan terhadap petani. Pemerintah perlu menetapkan mekanisme agar harga CPO domestik tetap kompetitif tanpa menekan petani swadaya. INDEF mengusulkan penetapan ceiling dan floor price untuk TBS agar harga di tingkat petani tidak ikut tertekan ketika terjadi fluktuasi di pasar global.

        Baca Juga: BPDP Gelar Fun and Play Bersama Sahabat Kecil Sawit

        Baca Juga: Bertumbuh Bersama BPDP di acara Trade Expo Indonesia 2025

        Kebijakan biodiesel, menurut Abra, tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak. Pemerintah perlu memastikan agar industri, produsen, dan konsumen memperoleh manfaat yang adil. Karena itu, kebijakan B50 seharusnya tidak hanya dilihat sebagai proyek energi, tetapi juga strategi pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Djati Waluyo

        Bagikan Artikel: