Parlemen Uni Eropa secara resmi menunda implementasi European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) selama setahun. Imbas dari penundaan tersebut yakni negara-negara produsen, termasuk Indonesia, bisa menyesuaikan diri dengan EUDR selama 2,5 tahun.
Indonesia, sebagai produsen sawit terbesar di dunia, sejauh ini baru membentuk Dasbor Nasional atau National Dashboard untuk mengatasi EUDR ini. Hal tersebut sejalan dengan Keputusan Menko Perekonomian Nomor 178 Tahun 2024 tentang Komite Pengarah Dasbor Nasional Data dan Informasi Komoditi Berkelanjutan.
Baca Juga: DPD Minta ‘Hutang’ Industri Sawit Dikembalikan ke Rakyat
Dalam keterangannya beberapa waktu yang lalu, Menko Perekonomian menyebut bahwa Dasbor Nasional tersebut bisa memperbaiki tata kelola dan sistem pelacakan komoditas berkelanjutan. Di sisi lain, kelompok masyarakat sipil menilai jika Dasbor Nasional hanya menjadi alat untuk menyembunyikan rantai pasok minyak sawit yang tidak berkelanjutan dalam negeri.
Menanggapi hal tersebut, Mansuetus Darto dari Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit mengkritik secara tegas tentang dasbor nasional tersebut. menurut dia, seharusnya pendekatan pemerintah diperbaiki dan lebih fokus pada penguatan sistem pelacakan, kapasitas birokrasi, dan pelaku usaha. khususnya petani kecil.
“EUDR tidak mengharuskan negara produsen untuk membangun sistem informasi guna memfasilitasi ekspor komoditas. Uni Eropa sudah menyiapkan sistemnya sendiri untuk implementasi EUDR di negara produsen,” kata Darto dalam rilis resminya, dikutip Rabu (18/12/2024).
Dasbor Nasional juga rawan transparansi. Masyarakat dan organisasi sipil, kata dia, tidak bisa mengakses data penting seperti kepatuhan perusahaan. Hal ini lantaran akses QR code dibatasi hanya untuk pihak tertentu yang berwenang sehingga transparansinya kurang dan esensinya jadi sia-sia.
Dalam keterangan yang sama, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, mengaku juga memiliki keresahan yang sama. Pasalnya, saat ini terjadi tumpang tindih tata kelola di segala bidang maupun instansi.
Surambo khawatir jika nantinya Dasbor Nasional ini bakal tumpang tindih dan rancu dengan sistem yang sudah ada di berbagai kementerian. Contohnya Sistem Informasi Perkebunan (SIPERIBUN) milik Kementerian Pertanian (Kementan), dan platform lainnya milik Kementerian Perdagangan (Kemendag) hingga Bea Cukai.
Maka dari itu, dia mendorong agar pemerintah segera mengintegrasikan berbagai platform tersebut dalam satu basis data spasial saja, yakni Plantation Commodity One Map Indonesia (PCOPI), tidak pakai Dasbor Nasional.
Saran lainnya adalah pemerintah meningkatkan data dan legalitas petani swadaya melalui pemetaan, pendataan, serta penerbitan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Sehingga, hal tersebut menunjukkan komitmen kuat pemerintah dalam memprioritaskan pemberdayaan petani sawit swadaya.
Tak hanya itu, dia juga menyarankan untuk memperkuat kelembagaan petani seperti penguatan koperasi guna meningkatkan posisi tawar petani.
“Selanjutnya memperbaiki tata niaga komoditas dengan mendorong kemitraan antara petani swadaya dan pabrik pengolahan yang memenuhi prinsip kesetaraan, jaminan harga, pasokan dan keberlanjutan,” tutur Surambo.
Saran terakhir, Surambo menyebut untuk mendukung kemandirian petani swadaya, diperlukan pengembangan pabrik pengolahan mini yang dimiliki maupun dikelola oleh koperasi atau badan usaha milik desa (BUMDes).
Baca Juga: Dukung Pengembangan Industri Kelapa Sawit, Mendag Lepas Ekspor Produk Turunan ke India
Indonesia sebenarnya memiliki peluang penting dan signifikan dalam momentum penundaan EUDR ini sekaligus mengatasi berbagai tantangan di baliknya. Akan tetapi, hal tersebut akan sia-sia apabila tanpa dibarengi dengan perbaikan signifikan dalam tata kelola maupun dukungan kepada petani kecil.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement