Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pengamat : Hampir Semua Perusahaan Nikel RI Masih ‘Dirty Nickel’

        Pengamat : Hampir Semua Perusahaan Nikel RI Masih ‘Dirty Nickel’ Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Indonesia tengah berupaya keluar dari stigma “dirty nickel” yang melekat pada industri tambangnya. Meski menjadi pemain kunci dalam rantai pasok kendaraan listrik global, proses produksi nikel di dalam negeri masih dinilai belum sepenuhnya ramah lingkungan.

        Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai sebagian besar perusahaan nikel di Indonesia belum memenuhi standar tambang hijau. 

        “Hampir semua perusahaan masuk kategori dirty nickel karena masih menggunakan PLTU batubara, persoalan limbah belum tuntas, dan konflik lahan dengan masyarakat masih terjadi,” ujarnya pada Warta Ekonomi, dikutip Selasa (28/10/2025).

        Baca Juga: CNGR: Nikel Indonesia Sudah Kuasai Pasar Dunia

        Menurut Bhima, jalan bersih menuju industri nikel berkelanjutan harus dimulai dari penegakan tata kelola lingkungan dan transisi energi di kawasan industri. 

        “Selama smelter masih bergantung pada energi fosil, sulit bicara nikel hijau. Perusahaan perlu komitmen untuk beralih ke energi terbarukan dan meningkatkan transparansi,” katanya.

        Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung mengingatkan bahwa praktik tambang di lapangan masih jauh dari ideal. 

        “Yang dianggap paling taat seperti Inco saja masih ada pelanggaran. Banyak yang merampas lahan warga dengan dalih tanah negara,” ujarnya pada Warta Ekonomi.

        Baca Juga: Investasi Besar, Dampak Sosial Masih Minim: ESG Jadi PR Tambang Nikel Indonesia

        Walhi mendesak agar pemerintah memperketat pengawasan dan memastikan prinsip good mining practice benar-benar dijalankan.

        Sementara itu, Founder CSR Indonesia Jalal menilai label “dirty nickel” bukan semata kampanye Barat, melainkan refleksi atas masalah yang nyata. 

        “Selama PLTU captive masih mendominasi pasokan energi dan insiden ketidakadilan lingkungan dan sosial terus terjadi, agaknya stigma generalisasi ini akan sulit dihilangkan,” kata Jalal pada Warta Ekonomi.

        Jalal menilai bahwa perbaikan tata kelola dan percepatan transisi energi bersih di kawasan industri nikel menjadi kunci agar Indonesia dapat memperbaiki citra sekaligus membuktikan komitmen terhadap praktik tambang yang berkelanjutan.

        Baca Juga: Tambang Nikel Dongkrak Ekonomi Warga, Ini Buktinya!

        “Transisi energi pada rantai pasok nikel adalah langkah paling krusial untuk membersihkan citra industri yang dicap kotor oleh sebagian pemangku kepentingan,” ujarnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
        Editor: Djati Waluyo

        Bagikan Artikel: