Riset Ungkap Gen Z Kian Kritis terhadap Kebijakan Iklim Pemerintah
Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Dua lembaga riset, Climate Rangers dan Kawula17, mengungkap meningkatnya kesadaran sekaligus kekecewaan generasi muda Indonesia terhadap penanganan krisis iklim oleh pemerintah. Riset Climate Rangers terhadap 382 responden Gen Z di Jakarta menunjukkan bahwa mayoritas anak muda menyadari perubahan iklim sudah berdampak langsung terhadap kehidupan mereka.
Campaign & Communication Staff Climate Rangers, Febriani Nainggolan, mengatakan 95,5 persen responden masih memandang krisis iklim sebatas fenomena cuaca ekstrem.
“Dampak krisis iklim itu sangat kompleks, termasuk pada kesehatan fisik dan mental, ketahanan pangan, hingga kerusakan infrastruktur akibat bencana seperti banjir dan rob,” ujar Febriani dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (30/10/2025).
Ia menambahkan, anak yang lahir pada 2020 akan menghadapi risiko krisis iklim jauh lebih parah dibandingkan generasi sebelumnya.
“Mereka mengalami gelombang panas tujuh kali lebih banyak, kekeringan tiga kali lebih sering, dan banjir besar dua kali lebih intens,” katanya.
Menurut Febri, tanggung jawab terbesar dalam menghadapi krisis iklim berada di tangan pemerintah. Namun, 62,4 persen responden menilai pelibatan anak muda oleh pemerintah masih bersifat tokenisme atau sekadar formalitas.
“Orang muda sering hanya diundang secara simbolis, bukan untuk benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Padahal kitalah yang paling merasakan dampaknya,” tegasnya.
Febri menegaskan, dunia telah menyepakati Perjanjian Paris untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5°C dibandingkan tingkat praindustri. Namun, suhu bumi kini telah meningkat 1,3°C dan dalam skenario paling optimistis bisa mencapai 1,9°C.
“Kebijakan iklim Indonesia masih belum cukup ambisius. Emisi tetap meningkat, bahkan dengan bantuan sektor kehutanan,” katanya.
Baca Juga: Perempuan dan Anak Paling Rentan Dampak Negatif Perubahan Iklim
Sementara itu, riset Kawula17 pada kuartal ketiga 2025 terhadap 404 responden menunjukkan dua isu utama yang paling disorot publik, yakni inefisiensi pengelolaan sampah (33%) dan kerusakan lingkungan akibat tambang (32%).
Co-Founder Kawula17, Dian Irawati, menjelaskan perhatian publik terhadap isu lingkungan meningkat berkat maraknya kampanye digital seperti #SaveRajaAmpat dan #SavePulauPadar.
“Tren ini menunjukkan, dalam dua tahun terakhir kesadaran publik semakin kuat terhadap pentingnya perlindungan ekosistem dan keadilan lingkungan di Indonesia,” kata Dian.
Riset terpisah terhadap 1.342 responden muda juga memperlihatkan peningkatan signifikan tingkat aktivisme.
“Sebanyak 42 persen tergolong participant—naik dari sebelumnya hanya spectator—dan 35 persen activist. Artinya, semakin banyak anak muda yang tertarik dan terlibat dalam isu lingkungan, HAM, gender, dan antikorupsi,” jelasnya.
Baca Juga: MADANI & Satya Bumi: PSN Ancam Hutan Alam, Iklim, dan Hak Masyarakat
Namun, Dian menilai anak muda masih sering dipandang sebagai beban, bukan kelompok yang harus dilindungi.
“Padahal, anak muda adalah kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sudah seharusnya mereka dilibatkan sebagai aktor karena ini menyangkut masa depan mereka,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait: