Sertifikasi Halal RPH: Fondasi Kepercayaan Publik dan Kunci Indonesia Menjadi Pusat Industri Halal Dunia
Kredit Foto: Istimewa
Isu halal dalam produk pangan, khususnya daging, merupakan persoalan yang sangat fundamental di Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar kedua di dunia, masyarakat menaruh perhatian besar terhadap kehalalan makanan yang mereka konsumsi.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih membeli daging hanya berdasarkan kepercayaan personal. Banyak konsumen beranggapan bahwa daging yang dijual oleh pedagang muslim di pasar tradisional otomatis halal. Begitu pula dengan daging yang dipajang di supermarket modern, yang sering dianggap terjamin karena higienis dan berlabel rapi.
Padahal, kepastian halal tidak dapat ditentukan hanya dari identitas pedagang maupun kebersihan kemasan. Proses di balik layar, mulai dari penyembelihan, penanganan, penyimpanan, hingga distribusi menjadi penentu utama yang menjamin status halal suatu produk.
Di sinilah Rumah Potong Hewan (RPH) memegang peran krusial. RPH bukan sekadar tempat memotong hewan, tetapi juga mata rantai pertama dalam memastikan daging yang sampai ke konsumen memenuhi prinsip Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH).
Oleh karena itu, konsumen sejatinya berhak mengetahui asal-usul daging yang mereka konsumsi, termasuk bagaimana penyembelihan dilakukan di RPH. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sertifikasi halal pada RPH masih sangat minim.
Menurut catatan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) tahun 2024, dari total 566 RPH ruminansia di Indonesia, baru 144 RPH atau sekitar 25% yang memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV) sebagai standar higienitas, dan hanya 72 RPH atau 13% yang memiliki NKV sekaligus sertifikat halal.
Situasi pada RPH unggas memang relatif lebih baik, di mana dari 314 RPH unggas, sebanyak 213 RPH atau 68% sudah memiliki NKV dan 180 RPH atau 57 persen telah bersertifikat halal.
Namun, jika memperhitungkan keberadaan rumah potong non resmi yang banyak terdapat di pasar tradisional atau kawasan perkampungan, angka ini akan jauh lebih rendah.
Kondisi ini mengindikasikan adanya kesenjangan serius antara kebutuhan konsumen muslim atas daging halal dengan kesiapan infrastruktur hulu yang menjadi penyokong utama rantai pasok halal.
Sertifikasi halal RPH penting karena tiga alasan utama. Pertama, ia menyangkut kepercayaan konsumen. Kehalalan daging tidak bisa hanya diasumsikan, melainkan harus dibuktikan melalui sertifikasi. Di era keterbukaan informasi, konsumen berhak mendapatkan transparansi terkait proses produksi pangan, dan sertifikasi halal RPH menjadi jaminan formal yang menumbuhkan rasa aman sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat. Kedua, sertifikasi halal juga terkait kualitas produk dan kesejahteraan hewan.
Prinsip kehalalan daging sejatinya sejalan dengan standar kesehatan, higienitas, serta etika penyembelihan, yang tidak hanya memastikan halal, tetapi juga menghasilkan kualitas daging yang lebih baik.
Ketiga, sertifikasi halal RPH berdampak langsung pada daya saing ekonomi Indonesia. Produk daging dari RPH bersertifikat halal lebih mudah diterima di pasar internasional, khususnya negara-negara dengan populasi muslim besar.
Potensi pasar halal dunia pun berkembang sangat pesat. Berdasarkan laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024, konsumsi makanan halal global pada 2023 mencapai US$ 1.434 miliar dan diproyeksikan meningkat menjadi US$ 1.939 triliun pada 2028.
Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara dengan konsumsi makanan halal terbesar, dengan nilai US$ 109 miliar pada 2023. Namun, yang ironis, Indonesia masih berada di urutan kesembilan eksportir makanan halal dunia.
Bahkan, negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OIC) secara keseluruhan mengalami defisit perdagangan halal sebesar US$ 97,28 miliar, karena sebagian besar kebutuhan halal justru diimpor dari negara non-OIC seperti Tiongkok, India, dan Brasil. Potret ini menunjukkan paradoks, Indonesia adalah konsumen terbesar, tetapi belum menjadi produsen utama.
Jika Indonesia ingin melompat dari konsumen menjadi produsen utama industri halal dunia, langkah awal yang harus diperkuat adalah memastikan seluruh rantai pasok, terutama RPH, sudah tersertifikasi halal.
Pemerintah sebenarnya telah merespons kebutuhan ini dengan kebijakan strategis. Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, sejak Oktober 2024 seluruh RPH diwajibkan memiliki sertifikasi halal.
Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak kendala, mulai dari minimnya pemahaman pengelola RPH tradisional terhadap standar halal, keterbatasan infrastruktur, kurangnya tenaga Juru Sembelih Halal (Juleha) dan penyelia halal yang kompeten, hingga rendahnya kesadaran produsen akan urgensi sertifikasi halal.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyiapkan sejumlah langkah, seperti pelatihan dan uji kompetensi bagi Juleha, kegiatan literasi dan sosialisasi sertifikasi halal, peningkatan kompetensi penyelia halal, hingga rencana pengimplementasian sistem halal traceability agar konsumen dapat menelusuri asal-usul daging yang mereka konsumsi.
Selain pemerintah, Bank Indonesia turut berperan aktif dalam memperkuat ekosistem halal nasional. Peran ini tidak hanya dalam ranah moneter atau keuangan, tetapi juga di sektor riil melalui pengembangan ekonomi syariah.
Bank Indonesia mendorong tiga pilar utama, yakni penguatan Halal Value Chain untuk memastikan seluruh rantai pasok halal berjalan sesuai standar, penguatan keuangan syariah guna mendukung pembiayaan berbasis syariah bagi pelaku usaha halal termasuk pengelola RPH, serta penguatan UMKM syariah melalui fasilitasi sertifikasi halal, salah satunya lewat program self declared gratis SEHATI, yang mewajibkan penggunaan bahan baku dari RPH bersertifikat halal.
Dengan program ini, percepatan sertifikasi halal RPH tidak hanya sekadar regulasi, tetapi juga berdampak langsung pada peluang UMKM untuk menembus pasar nasional hingga internasional.
Mendorong sertifikasi halal RPH sejatinya bukan semata persoalan administratif, tetapi fondasi kepercayaan publik, benteng kualitas pangan, sekaligus kunci daya saing bangsa. Jika Indonesia serius memperkuat RPH sebagai mata rantai utama industri halal, maka peluang besar terbuka lebar.
Konsumsi domestik yang besar dapat terjamin kualitas dan kehalalannya, ekspor produk halal bisa meningkat signifikan, ketergantungan impor dapat ditekan, dan defisit perdagangan halal OIC bisa dikurangi.
Lebih dari itu, UMKM halal bisa tumbuh lebih kuat karena bahan baku terjamin standar kehalalannya, sementara kepercayaan global terhadap Indonesia sebagai produsen halal akan meningkat, membuka peluang investasi dan kerja sama internasional.
Dengan dukungan regulasi pemerintah, sinergi lembaga seperti BPJPH dan Bank Indonesia, serta kesadaran kolektif produsen dan konsumen, Indonesia dapat bertransformasi dari sekadar pasar halal terbesar menjadi pusat industri halal dunia.
Sertifikasi halal RPH bukan hanya kewajiban formal, melainkan amanah moral, ekonomi, dan strategis. Amanah moral untuk menjaga hak konsumen muslim. Amanah ekonomi untuk meningkatkan daya saing dan kesejahteraan nasional.
Amanah strategis untuk menempatkan Indonesia pada posisi terhormat di kancah global. Indonesia memiliki semua modal, jumlah penduduk muslim terbesar, konsumsi halal yang tinggi, dukungan regulasi, hingga lembaga yang berkomitmen.
Yang dibutuhkan hanyalah konsistensi, percepatan, dan sinergi nyata. Jika semua ini berjalan, maka ke depan Indonesia tidak lagi hanya menjadi konsumen terbesar, tetapi juga produsen utama yang diperhitungkan dalam industri halal dunia. Dan semuanya berawal dari satu titik krusial, Rumah Potong Hewan yang tersertifikasi halal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: