Tanggapi Polemik BEV vs ICE, ENTREV Paparkan Keunggulan Operasional Mobil Listrik
Kredit Foto: Istimewa
ENTREV memberikan tanggapan atas polemik mengenai dampak lingkungan antara Battery Electric Vehicle (BEV) atau mobil listrik dan Internal Combustion Engine (ICE) atau mobil konvensional.
Menurut ENTREV, perbandingan yang beredar di masyarakat selama ini dinilai kurang berimbang karena belum sepenuhnya mengetengahkan fakta, terutama dari sisi material dan operasional mobil listrik.
Project Management Unit ENTREV, Eko Adji Buwono, mengapresiasi meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kendaraan ramah lingkungan, yang terlihat dari banyaknya diskusi bahkan perdebatan di media sosial belakangan ini.
Menanggapi hal tersebut, Eko menggarisbawahi beberapa aspek mobil listrik yang menurutnya perlu diperhatikan lebih saksama, mulai dari material pembuatan, operasional, hingga proses daur ulang limbahnya.
Baca Juga: JAECOO J5 EV Jadi SUV Listrik yang Efesien dan Modern serta Tangguh dengan Harga Spesial
"Kami menyambut baik antusiasme masyarakat untuk mendiskusikan manfaat kendaraan ramah lingkungan. Poin kami adalah pentingnya penilaian yang berimbang dari hulu ke hilir dalam pemanfaatan BEV, karena perbedaannya sangat signifikan secara lingkungan dibandingkan dengan ICE," papar Eko dalam siaran persnya di Jakarta (3/11).
Eko menjelaskan, publik perlu memahami bahwa lithium dan nikel sebagai material utama baterai BEV tidak tergolong sebagai material langka (rare earth). Dengan demikian, masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan mengenai keterbatasan pasokan dan dampak penambangannya.
"Lithium bukanlah rare earth (material langka). Dari 17 unsur yang dikategorikan sebagai rare earth, lithium dan nikel tidak termasuk di dalamnya. Semua bahan baku untuk membuat kendaraan, baik ICE maupun BEV, berasal dari tambang, bukan dari hasil tanaman. Contohnya adalah besi, aluminium, platinum, dan baja," jelasnya.
Lebih lanjut, Eko menekankan perbedaan mendasar dari sisi operasional. Pada kendaraan ICE, terjadi proses pembakaran yang langsung menghasilkan emisi, sementara BEV tidak. Selain itu, pada saat pengisian bahan bakar di SPBU, terdapat pelepasan fugitive methane atau emisi gas metana yang langsung ke atmosfer.
"Dari sisi limbah, baik komponen ICE maupun baterai BEV akan menjadi Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) jika tidak didaur ulang. Namun, dalam konteks ini, kami optimistis karena baterai BEV telah dapat didaur ulang hingga 90% melalui konsep urban mining atau city mining. Artinya, untuk memproduksi baterai baru, hanya diperlukan sedikit tambahan mineral dari pertambangan baru," imbuhnya.
Baca Juga: Lewat Subsidi Listrik, China Akali Dampak Larangan Pembelian Chip Nvidia
Eko menuturkan, berbagai kesimpulan tersebut diperoleh ENTREV setelah melakukan riset lapangan bersama para pemangku kebijakan dan pelaku industri BEV dengan pendekatan Life Cycle Assessment (LCA). Hasil riset ini telah menjadi bagian dari laporan kajian Strategic Environment & Social Assessment (SESA).
Riset tersebut dilakukan ENTREV bekerja sama dengan lembaga riset internasional seperti Rocky Mountain Institute (RMI) dan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Hasilnya telah dipublikasikan secara internasional dan dapat diunduh secara bebas oleh publik.
"Dengan dukungan hasil riset yang valid, kami yakin BEV jelas lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, ENTREV terus mendorong penggunaan mobil listrik sebagai langkah nyata untuk mengurangi emisi karbon dan beralih ke teknologi yang lebih berkelanjutan," pungkas Eko.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: