Transisi Hijau atau Transaksi Hijau? WALHI Kritik Keras Agenda Iklim Indonesia
Kredit Foto: Bloomberg
Pemerintah Indonesia resmi membuka Paviliun Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP 30 di Belém, Brasil. Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai pembukaan tersebut lebih menyerupai ajang pasar dagang bagi hutan dan sumber daya alam Indonesia.
Dalam presentasinya, pemerintah menawarkan potensi kredit karbon sebesar 90 miliar ton, potensi dekarbonisasi, serta Strengthened Nationally Determined Contribution (SNDC) yang diklaim mampu mencapai komitmen iklim nasional. Namun, WALHI menyebut perdagangan karbon dan proyek dekarbonisasi yang diusung pemerintah sebagai “solusi sesat” terhadap krisis iklim.
Menurut WALHI, perdagangan karbon justru menjadi cara untuk mengamankan rezim industri ekstraktif dan melakukan finansialisasi alam—dua faktor utama yang selama ini mendorong krisis iklim dan pelanggaran hak asasi manusia.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan roh utama dari perdagangan karbon, menurut WALHI, adalah konsep offset atau penyeimbangan, yang memungkinkan perusahaan maupun negara industri tetap menghasilkan emisi selama membeli karbon di pasar karbon.
Baca Juga: Rakyat Punya Solusi Iklim, Bukan Industri: Pesan WALHI di COP 30 Brasil
“Carbon trading dan offset ini dipandang sebagai solusi yang cepat dan murah oleh perusahaan dan pemerintah. Banyak proyek penggantian kerugian karbon berjalan dengan klaim yang meragukan, bahkan salah, dengan menggantinya dengan narasi sekadar permasalahan teknis penyeimbang karbon (net zero atau carbon neutral). Di atmosfer, hal ini adalah kebohongan yang berbahaya bagi masa depan planet bumi,” ujar Uli dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (11/11/2025).
Uli menegaskan, praktik perdagangan karbon telah mengeksklusi masyarakat adat dan komunitas lokal dari ruang hidupnya. WALHI mencontohkan proyek karbon di Jambi yang mengusir Suku Anak Dalam, serta proyek karbon di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat karena area hutan seluas 13.000 hektare akan dijadikan lokasi proyek.
Dalam dokumen perusahaan, masyarakat dilarang melakukan ritual adat, berburu, meramu, maupun membakar ladang. Proyek-proyek seperti REDD dan REDD+ juga dinilai merampas wilayah kelola masyarakat, seperti yang terjadi pada proyek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) di Kalimantan Tengah dan proyek REDD yang gagal di Ulu Masen, Aceh.
Hal serupa juga terjadi dalam proyek dekarbonisasi. WALHI menyebut 90 persen upaya dekarbonisasi global bergantung pada pasokan energi terbarukan, efisiensi, dan elektrifikasi. Namun, proyek-proyek yang dijalankan justru menimbulkan dampak ekologis besar, terutama dari ekspansi gas dan LNG.
Baca Juga: Limbah Radioaktif Ditemukan di Cikande, WALHI Desak Pemerintah Revisi Aturan B3
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Boy Jerry Even Sembiring, mengatakan berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan gas fosil untuk pembangkit listrik dan industri memberikan kontribusi terhadap kematian dini yang hampir setara dengan batu bara di 96 kota dunia pada 2020. Metana komponen utama gas fosil merupakan gas rumah kaca terkuat kedua setelah karbondioksida.
“Di Indonesia sendiri, industri gas dan LNG tidak lepas dari problem pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan. Dari genosida di Aceh hingga ekosida di Sidoarjo, tren perusakan mengiringi berbagai proyek gas di Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pada 29 Mei 2006, operasi gas oleh PT Lapindo Brantas di Sidoarjo memicu tragedi Lumpur Lapindo yang menenggelamkan 900 hektare wilayah dan mengusir lebih dari 100 ribu jiwa,” ujar Boy.
Boy juga menyinggung dugaan pelanggaran HAM oleh ExxonMobil di Aceh, yang terungkap dalam dokumen pengadilan di Washington D.C. pada 2022, serta penolakan warga Bali terhadap pembangunan Terminal LNG Sanur yang dinilai mengancam kelestarian mangrove, terumbu karang, dan kawasan suci.
WALHI menilai klaim pemerintah dalam SNDC sejak awal sudah gagal karena disusun tanpa partisipasi publik dan tetap mengandalkan skema ekstraktif. Berdasarkan analisis WALHI, terdapat sekitar 26 juta hektare hutan alam yang berada di dalam konsesi HGU, IUP, dan PBPH.
Baca Juga: Eddy Soeparno Siap Bicara di COP 30, Tegaskan Komitmen Indonesia Akselerasi Transisi Energi
Kebijakan hilirisasi nikel serta program swasembada pangan dan energi juga dinilai berpotensi memperluas pembukaan hutan, termasuk 15 juta hektare kawasan hutan yang akan dialokasikan untuk proyek pangan dan energi nasional.
“Selama orientasi ekonomi nasional dan global masih untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, aksi dan adaptasi iklim Indonesia serta negara-negara di dunia akan tetap gagal menjawab target iklim. Pemerintah Indonesia harus serius menjalankan prinsip-prinsip keadilan iklim dalam menjawab krisis,” tutup Boy.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo