Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Indonesia yang selama ini mengusung ambisi menjadi pusat industri nikel dan baterai listrik dunia menghadapi ironi baru. Negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia justru harus mengimpor bijih nikel dari Filipina yang memiliki cadangan jauh lebih kecil.
Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdana Kusumah, menyampaikan kondisi tersebut sebagai sinyal bahwa pembangunan hilirisasi harus diimbangi dengan penguatan pasokan hulu agar rantai industri nikel nasional tetap berkelanjutan.
Arif menjelaskan bahwa hilirisasi nikel merupakan ekosistem yang menuntut keselarasan antara tambang sebagai pemasok, smelter sebagai pengolah, pasar sebagai penyerah, dan kebijakan pemerintah sebagai pengarah. Menurut dia, seluruh elemen harus bergerak harmonis karena melemahnya satu bagian dapat mengguncang rantai pasok.
Baca Juga: NCKL Ungkap Transaksi Afiliasi terkait Perjanjian Jual Beli Biji Nikel
"Hilirisasi nikel—yang selama ini dibanggakan sebagai lompatan strategis Indonesia—sesungguhnya adalah ekosistem yang kompleks. Ia tidak mungkin berjalan tanpa harmoni antara empat elemen: tambang sebagai pemasok bahan baku, smelter sebagai pengolah, pasar sebagai penyerap produk, dan kebijakan pemerintah sebagai pengarah," ujar Arif di Jakarta, Kamis (20/11/2025).
FINI menilai perubahan masa berlaku Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun menciptakan tantangan baru. Dengan ratusan smelter yang terus bertambah, kebutuhan kuota tambang meningkat, tetapi waktu perencanaan tambang menjadi lebih singkat. Kondisi tersebut membuat potensi ketidakseimbangan antara produksi tambang dan kebutuhan industri semakin terasa.
"Akibatnya, potensi ketidakseimbangan antara produksi tambang dan kebutuhan industri semakin terasa. Di sinilah ironi mulai tampak jelas," ujarnya.
Arif mengatakan, Indonesia memiliki cadangan nikel sekitar 55 juta ton logam nikel atau sekitar 45% cadangan dunia. Namun pertumbuhan smelter yang masif membuat kapasitas penambangan tidak mampu mengejar permintaan.
Arif menegaskan bahwa teknologi pirometalurgi dan hidrometalurgi di smelter membutuhkan pasokan kontinu sehingga keterlambatan produksi tambang menimbulkan tekanan bahan baku.
Fakta impor bijih nikel menjadi sorotan utama. Pada 2024, Indonesia mengimpor sekitar 10,4 juta ton bijih nikel dari Filipina. Jumlah itu diperkirakan meningkat menjadi sekitar 15 juta ton pada 2025 atau setara USD 600 juta. Filipina hanya memiliki 4,8 juta ton cadangan logam nikel atau sekitar 4% cadangan global.
Arif menyebut impor terjadi akibat keterbatasan pasokan domestik dan kebutuhan blending untuk menyesuaikan rasio Si:Mg dalam proses produksi smelter.
Pertumbuhan smelter di Indonesia meningkat signifikan, dimana pada 2017, kapasitas produksi nikel kelas dua baru mencapai 250 ribu ton. Pada 2024, kapasitas melonjak menjadi sekitar 1,8 juta ton nikel kelas dua dan 395 ribu ton nikel kelas satu.
Arif menyampaikan bahwa ekspansi tersebut menjadikan Indonesia pemain strategis di pasar baja tahan karat dan material baterai dengan pangsa lebih dari 60% kebutuhan dunia. Namun pertumbuhan cepat tanpa penguatan hulu menimbulkan risiko terbatasnya bahan baku.
Baca Juga: Status PKPU Dicabut, MMP Tegaskan Komitmen Hilirisasi Nikel Nasional
Arif menilai risiko kelangkaan bijih nikel dapat memengaruhi seluruh ekosistem industri. Ia menyebut potensi ketidakpastian investasi akibat perubahan kebijakan, kenaikan biaya produksi, risiko smelter berhenti beroperasi, hingga terhambatnya investasi lanjutan untuk industri baterai dan kendaraan listrik.
"Kondisi itu dapat berdampak pada lembaga pembiayaan dan sektor pendukung," ucapnya.
FINI mendorong pemerintah memperkuat eksplorasi, meningkatkan kapasitas serta kepatuhan teknis penambangan, dan memprioritaskan pengesahan RKAB bagi tambang yang terintegrasi atau terafiliasi dengan smelter.
Menurut Arif, strategi hilirisasi hanya dapat berjalan optimal apabila Indonesia mampu memastikan ketersediaan bahan baku di dalam negeri.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait: