Masyarakat Sipil Indonesia Desak Transparansi dan Keberpihakan dalam Pendanaan Iklim di COP30
Kredit Foto: Istimewa
Berbagai elemen masyarakat sipil Indonesia yang turut serta dalam Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, konsisten menyuarakan penting transparansi dan keberpihakan dalam skema pendanaan iklim global.
Mereka menggarisbawahi pentingnya penyaluran dana yang adil serta menjamin komunitas adat dan kelompok paling rentan, yang selama ini berada di garda terdepan pelestarian lingkungan, memperoleh akses dan manfaat ekonomi secara langsung.
Penasihat Utama Menteri untuk Menteri Kehutanan, Edo Mahendra, dalam sesi “Scaling Landscape Restoration” menegaskan kembali tekad Indonesia untuk memaksimalkan pendanaan iklim yang transparan, dapat dipertanggungjawabkan, dan selaras dengan sasaran global.
“Terbitnya Peraturan Nomor 110 Tahun 2025 adalah komitmen Indonesia membangun pasar karbon berintegritas tinggi untuk menguatkan daya saing Indonesia baik dari aspek lingkungan, ekonomi, serta sosial,” jelasnya.
Menurut Edo, pasar karbon berintegritas harus membuka aliran pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi hijau dengan mengedepankan transisi yang adil dan inklusif. Ia menyebutkan salah satu bentuk komitmen tersebut adalah penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian Kehutanan dan Integrity Council for the Voluntary Carbon Market untuk meningkatkan transparansi dan kredibilitas mekanisme pasar karbon.
Di sisi lain, Paul Butarbutar, Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, menekankan bahwa akuntabilitas merupakan prasyarat utama dalam setiap skema pembiayaan proyek.
“Akuntabilitas adalah pondasi dalam kerangka transisi berkeadilan selain hak asasi manusia serta kesetaraan gender dan pemberdayaan,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa JETP Indonesia merupakan pembiayaan transisi energi individu terbesar di dunia saat ini.
“Target bersama Joint Statement JETP adalah memobilisasi total 20 miliar dolar, terbagi rata antara pembiayaan publik dan swasta. Sebanyak 10 miliar dolar dimobilisasi oleh anggota International Partners Group, dan sisanya difasilitasi oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero,” kata Paul.
Menurutnya, prinsip leave no one behind tetap menjadi pilar penting agar transisi berlangsung adil, inklusif, dan merata.
Baca Juga: Hadir di COP 30 Brasil, MPR Dorong Pertamina Jadi Pemimpin Regional Pengembangan SAF
Sementara itu, Marsya M. Handayani, Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup & Pengendalian Pencemaran Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menyatakan bahwa transparansi dan keberpihakan dalam pendanaan iklim baik domestik maupun internasional masih jauh dari ideal. Ia mengapresiasi inisiatif pemerintah dalam mengelola pendanaan melalui lembaga seperti Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), namun menilai tantangan utama terletak pada keterbukaan pemanfaatan dana.
“Data penerimaan dan penggunaan dana iklim seharusnya dapat diakses dengan mudah dan diperbarui secara berkala, minimal setiap tahun,” tegasnya.
Menanggapi perkembangan negosiasi delegasi Indonesia selama COP30, Elok F. Mutia, Associate Campaign Director Purpose sekaligus inisiator indonesiadicop.id, menilai bahwa diplomasi Indonesia masih belum menunjukkan keberpihakan kuat kepada masyarakat dan belum transparan.
“Indonesia memang aktif selama COP, terutama dalam isu perdagangan karbon dan pendanaan iklim, tetapi dua keputusan besar yang diteken pada COP30 justru menunjukkan minimnya keterbukaan,” ujarnya.
Mutia menyoroti penandatanganan perjanjian perdagangan karbon melalui mekanisme Article 6.2 dengan Norwegia sebagai langkah besar yang berisiko tinggi karena belum ada penjelasan publik mengenai ruang lingkup kerja sama, safeguard, mekanisme pembagian manfaat, serta perlindungan masyarakat adat dan komunitas terdampak.
Ia juga menyinggung komitmen satu miliar dolar untuk Tropical Forests Forever Facility (TFFF), yang hingga kini belum memiliki kejelasan terkait tata kelola, alokasi, akses pendanaan, maupun jaminan perlindungan hak masyarakat adat. Banyak organisasi masyarakat sipil global, tambahnya, telah mengkritik bahwa TFFF terlalu berorientasi pada finansialisasi hutan dan belum cukup menjamin perlindungan hak masyarakat.
Sebagai salah satu perwakilan masyarakat sipil yang mengamati proses COP30 hingga hari terakhir, Mutia menekankan bahwa harapan terbesar publik terhadap pemerintah Indonesia adalah keterbukaan dan keberpihakan. Ia meminta pemerintah membuka seluruh proses negosiasi, menjelaskan detail perjanjian yang ditandatangani, dan memastikan pendanaan iklim benar-benar berpihak pada masyarakat.
“Yang paling penting adalah memastikan suara masyarakat adat dan komunitas lokal mendapat ruang yang layak dalam proses transisi energi dan perlindungan hutan,” tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: