Ancaman Siber Menguat, Industri Keuangan Didesak Perkuat Resiliensi
Kredit Foto: IRPA
Ancaman siber terhadap industri keuangan Indonesia kian meningkat dan berpotensi menimbulkan dampak sistemik terhadap stabilitas ekonomi digital nasional. Risiko tersebut menjadi sorotan utama dalam IRPA Annual Risk Professional Summit 2025 ketika para pakar menegaskan pentingnya penguatan cyber resilience di tengah serangan digital yang semakin kompleks dan lintas negara.
Ketua Indonesian Risk Professional Association (IRPA), Alan Yazid, menyatakan bahwa kegagalan siber berskala besar dapat mematikan layanan vital, menghancurkan kepercayaan nasabah, hingga memicu krisis likuiditas. Menurutnya, eskalasi ancaman tersebut menuntut industri keuangan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan berbasis risiko.
“Kami merilis pemeringkatan berbasis risiko dengan metodologi ketat, didukung oleh Perbanas Institute,” ujar Alan, Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Baca Juga: ITSEC Asia Perkuat Pertahanan Siber lewat IntelliBroń
Ia menegaskan, publikasi tersebut ditujukan kepada seluruh bank di Indonesia sebagai rujukan untuk memperkuat tata kelola dan mitigasi risiko siber yang terus berevolusi seiring percepatan digitalisasi layanan keuangan.
Pandangan serupa disampaikan Wakil Ketua Dewan Pengawas Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, Muliaman Hadad. Ia menilai risiko siber kini bukan lagi kemungkinan, melainkan keniscayaan yang hampir pasti dihadapi setiap lembaga keuangan.
“10 tahun lalu belum terlalu mengancam. Kini, setiap bank pasti akan kena serangan siber. Pasti. Tinggal tergantung mereka siap atau tidak,” katanya.
Muliaman menekankan bahwa manajemen risiko berfungsi sebagai fondasi agar pertumbuhan sektor keuangan tetap solid dan berkelanjutan.
Kekhawatiran tersebut diperkuat oleh mencuatnya dugaan peretasan terhadap sistem pembayaran BI-FAST, infrastruktur real-time yang dikelola Bank Indonesia. Sejak 2024 hingga Maret 2025, terdeteksi anomali transaksi dan dugaan penipuan elektronik yang memanfaatkan celah keamanan, dengan potensi kerugian mencapai ratusan miliar rupiah. Dugaan tersebut melibatkan beberapa bank peserta yang mengalami transaksi tidak sah melalui BI-FAST.
Bank Indonesia menegaskan bahwa infrastruktur BI-FAST secara keseluruhan tetap aman dan memenuhi standar internasional. Namun, insiden tersebut menunjukkan bahwa kerentanan kerap muncul dari pengamanan internal peserta atau penyelenggara layanan. Kasus BI-FAST menjadi contoh konkret bahwa risiko siber dapat menimbulkan dampak material terhadap layanan keuangan, perlindungan konsumen, dan stabilitas sistem pembayaran nasional.
Ketua LSP Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR), Gandung Troy Sulistyantoro, mengingatkan bahwa serangan siber juga membawa risiko reputasi yang signifikan. Menurutnya, pencurian data, ransomware, dan penyalahgunaan identitas digital dapat memicu efek domino yang memperlemah kredibilitas lembaga dan kepercayaan publik.
Baca Juga: Skill Gap Jadi Ancaman Terbesar Keamanan Siber Indonesia 2026
Dari sisi pemerintah, perwakilan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Slamet Aji Pamungkas, menyoroti kompleksitas ancaman siber yang kini kerap masuk melalui rantai pasok digital dan pihak ketiga. Ia menambahkan bahwa sekitar 70% aspek keamanan dipengaruhi perilaku manusia, sehingga literasi digital dan kualitas sumber daya manusia menjadi faktor krusial dalam strategi mitigasi risiko nasional.
Dimensi global turut mewarnai diskusi tersebut. Rektor Perbanas Institute, Hermanto Siregar, mengungkapkan bahwa survei Federal Reserve Amerika Serikat menempatkan kecerdasan buatan sebagai potensi market shock dalam 12–18 bulan mendatang. Risiko tersebut, apabila berinteraksi dengan ketegangan geopolitik, dinilai dapat memperburuk disrupsi siber dan teknologi, di tengah tekanan inflasi dan suku bunga jangka panjang yang lebih tinggi.
Forum tersebut menegaskan bahwa pembangunan cyber resilience memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah, regulator, industri keuangan, dan masyarakat. Alan Yazid menekankan urgensi pertahanan digital yang adaptif dan terus berkembang.
“Kita harus menciptakan benteng digital yang mampu belajar dan berevolusi secepat ancamannya,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: