Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Skill Gap Jadi Ancaman Terbesar Keamanan Siber Indonesia 2026

Skill Gap Jadi Ancaman Terbesar Keamanan Siber Indonesia 2026 Kredit Foto: Fortinet
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kekurangan talenta keamanan siber dinilai menjadi tantangan terbesar Indonesia dalam menghadapi ancaman digital berbasis kecerdasan buatan (AI) pada 2026. Laporan Fortinet Global Cybersecurity Skills Gap 2025 menunjukkan masih lebarnya jarak antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga ahli keamanan siber, di tengah percepatan penggunaan cloud, layanan digital, otomasi industri, dan infrastruktur publik yang semakin terkoneksi. Fortinet menegaskan bahwa tanpa penyelesaian skill gap, ketahanan digital nasional akan sulit tercapai.

Vice President of Marketing and Communications APAC Fortinet, Rashish Pandey, menjelaskan banyak organisasi di Indonesia telah mengadopsi solusi keamanan modern, namun belum memiliki jumlah operator yang memadai untuk mengelola dan memonitor sistem secara berkelanjutan.

“Banyak perusahaan memiliki produk dan prosedur, tetapi tidak memiliki cukup orang untuk menjalankannya. Kompleksitas ancaman dan banyaknya solusi yang digunakan membuat kebutuhan operator semakin tinggi,” kata Rashish.

Baca Juga: Perkuat Infrastruktur Digital dan Keamanan Siber, Telkom Jalin Kolaborasi dengan Fortinet

Ia menegaskan AI dapat meningkatkan otomatisasi, namun tetap membutuhkan operator yang menguasai keamanan dan memahami cara kerja AI. Menurut Rashish, kesenjangan keterampilan semakin terlihat ketika organisasi menggunakan banyak produk dari berbagai vendor, karena setiap perangkat memerlukan keahlian tersendiri. Keterbatasan operator membuat respons terhadap ancaman melambat, sementara serangan berbasis AI berlangsung sangat cepat.

Country Director Fortinet Indonesia, Edwin Lim, menambahkan prediksi ancaman 2026 menunjukkan lonjakan pada ransomware, serangan berbasis AI, risiko keamanan cloud, dan serangan terhadap Operational Technology (OT) yang mengancam sektor infrastruktur kritis. “Ransomware tidak akan hilang justru akan meningkat. Pelaku kriminal kini dibantu AI yang membuat serangan lebih cepat, akurat, dan masif. Di sinilah skill gap menjadi masalah terbesar,” ujar Edwin. Ia menilai organisasi tidak bisa lagi mengandalkan pertahanan manual.

Edwin menyebut dunia siber akan memasuki fase “AI vs AI”, di mana serangan dan respons dikelola oleh sistem otomatis. Dalam fase tersebut, kecepatan deteksi menjadi faktor kunci. “Yang penting bukan siapa yang melakukan, tetapi seberapa cepat kita bisa mendeteksi dan menahan serangan tersebut. Kalau masih mengandalkan proses manual, kita akan tertinggal,” lanjutnya.

Dalam konteks cloud, Rashish mengingatkan banyak organisasi Indonesia berpindah ke cloud tanpa menerapkan standar keamanan yang sama seperti pada sistem on-premise. Minimnya visibilitas membuat serangan ke cloud kerap luput dari pemantauan. Ia mengingatkan data yang kini dianggap lebih berharga dibanding emas atau minyak menjadi target utama penjahat siber.

Sektor OT turut menjadi fokus, seiring modernisasi pabrik dan transformasi digital di energi, manufaktur, dan transportasi yang menghubungkan sistem industri ke internet. Edwin menyampaikan banyak industri masih menggunakan sistem lama yang sebelumnya tidak terkoneksi, sehingga celah keamanan mudah dieksploitasi. Gangguan pada OT dapat menghentikan operasional, mengganggu layanan publik, dan menimbulkan kerugian besar.

Baca Juga: Adopsi AI Semakin Masif, Salesforce Luncurkan Agentforce dalam Bahasa Indonesia

Untuk mengatasi skill gap, Fortinet menjalankan Fortinet Academic Program dengan menggandeng sejumlah universitas di Indonesia, antara lain UGM, ITS, UNDIP, Universitas Negeri Gorontalo, UMN, dan SGU. Program tersebut menyediakan laboratorium siber, akses pelatihan, hingga voucher sertifikasi bagi mahasiswa. “Kami ingin memperkuat fondasi talenta Indonesia sejak bangku kuliah. Ini bagian dari kontribusi sosial Fortinet untuk mendukung masa depan ketahanan siber nasional,” kata Edwin.

Selain pengembangan talenta, Edwin menekankan pentingnya membangun budaya keamanan di perusahaan. Ia menyebut banyak insiden terjadi akibat kelalaian internal, salah konfigurasi, atau rendahnya disiplin keamanan. Setiap individu dinilai perlu memahami konsekuensi tindakannya terhadap keamanan perusahaan.

Meski menghadapi tantangan besar, Rashish menilai Indonesia memiliki peluang mengejar ketertinggalan. Ia melihat Indonesia sebagai negara progresif yang cepat beradaptasi pada perkembangan ancaman siber beberapa tahun terakhir. Namun, ancaman 2026 disebut memerlukan pendekatan generasi baru. “Indonesia memiliki banyak talenta teknis, tetapi mereka perlu dipersiapkan untuk ancaman generasi baru. Jika ini dilakukan, Indonesia akan mampu bersaing dan membangun ketahanan yang kuat,” tutup Rashish.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: