Jakarta, 13/4 (Antara) - Survei yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terhadap efektivitas kebijakan plastik berbayar yang diberlakukan pemerintah sejak 21 Februari lalu, menunjukkan bahwa sekitar 40 persen konsumen di DKI Jakarta tidak lagi menggunakan plastik saat berbelanja.
Survei tersebut dilakukan pada 1 Maret-6 April 2016 di 25 lokasi di DKI dengan melibatkan 15 ritel modern dan 222 konsumen.
"Walaupun sudah ada pengurangan sementara jumlah konsumsi kantong plastik, tetapi 50-60 persen konsumen masih tetap menggunakan kantong plastik," ujar peneliti YLKI Natalya Kurniawati dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (13/4/2016).
Dari 25 lokasi yang diteliti, sebanyak 16 ritel menyatakan ada penurunan jumlah konsumsi plastik pada konsumen, sementara sembilan ritel lainnya mengatakan tidak ada.
Dari hasil wawancara dengan konsumen, Natalya mengatakan bahwa sebagian besar konsumen merasa kebijakan plastik berbayar tidak cukup jelas dari segi sosialisasi, mekanisme, dan ketersediaan alternatif solusi misalnya kantong belanja nonplastik yang murah.
YLKI mencatat kantong belanja alternatif yang disediakan ritel cenderung mahal dengan harga bervariasi dari Rp4.900 hingga Rp69.900.
Pemerintah, kata dia, sepertinya belum siap memberlakukan kebijakan ini mengingat belum matangnya media sosialisasi dan informasi baik bagi konsumen maupun pihak ritel.
"Dari ritel sendiri belum siap dengan keseragaman SOP yang berlaku bagi kasir karena tidak semua kasir menanyakan pada konsumen mau pakai plastik atau tidak," katanya mengungkapkan.
Untuk itu, sesuai UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, YLKI mendorong pemerintah selaku regulator dan pelaku usaha untuk wajib memberikan sosialisasi dan informasi jelas tentang transparansi dana yang dikeluarkan konsumen untuk setiap lembar plastik berbayar seharga Rp200.
Lembaga tersebut juga merekomendasikan tarif Rp1.000 untuk selembar kantong plastik agar kebijakan pengurangan sampah plastik demi menjaga lingkungan bisa lebih efektif.
"Tapi harus disertai transparansi dana. Selisih antara harga jual dan biaya produksi plastik yang Rp200 itu harus dikembalikan langsung untuk program pelestarian lingkungan," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.
Ia menilai bahwa kebijakan plastik berbayar berdampak positif terhadap pengurangan penggunaan kantong plastik oleh konsumen, namun belum cukup efektif.
"Tarif yang masih Rp200 itu hanya memindahkan biaya produksi plastik, belum menjadi instrumen disinsentif," ungkapnya.
YLKI terus mendorong masyarakat menjadi "green consumer" atau konsumen yang peduli pada lingkungan mengingat fakta bahwa pada 2015 konsumsi kantong plastik di Indonesia mencapai 9,8 miliar lembar per tahun, atau peringkat kedua terbesar di dunia setelah China (Tiongkok).
Riset yang dilakukan Greenation Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2014-2015 menunjukkan sekitar 32 ribu toko anggota Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (APRINDO) berpotensi mengedarkan kantong plastik sebanyak 9,6 juta lembar per hari. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil