Skandal Wells Fargo: Kelemahan Governance Risk Compliance Berujung Fraud
Oleh: ,
Publik dunia dikejutkan dengan skandal Wells Fargo Bank di Amerika Serikat yang dikenakan denda sebesar US$185 juta oleh The US Consumer Financial Protection Bureau (CFPB). Fantastisnya, denda tersebut adalah denda terbesar yang pernah dijatuhkan oleh CFPB.
Berdasarkan informasi resmi CFPB, rincian denda yang harus dibayar Wells Fargo adalah (1) restitusi penuh kepada seluruh korban paling tidak sebesar US$2,5 juta (atau US$5juta menurut Reuters) dan denda US$100 juta kepada CFPB’s Civil Penalty Fund, tambahan sanksi US$35 juta kepada Office of the Comptroller of the Currency, dan denda lain sebesar US$50 juta kepada City & County of Los Angeles.
Wells Fargo adalah termasuk bank besar di Amerika Serikat dan global, yaitu urutan ke-13 dari aset total berdasarkan statistik Relbank per tanggal 27 Agustus 2016 (http://www.relbanks.com/
Menurut CFPB, praktik ilegal yang meluas di Wells Fargo sejak 2011 adalah secara diam-diam membuka rekening simpanan dan kartu kredit tanpa sepengetahuan dan persetujuan nasabahnya. Hal ini dipicu oleh target penjualan yang ditetapkan bank kepada pegawainya dan tentu saja dengan iming-iming kompensasi (reward) berupa insentif. Diperkirakan, lebih dari dua juta rekening simpanan dan kartu kredit telah dibuka dengan ilegal. Memperhatikan sumber utama penyebab (root-cause) perbuatan ilegal ini, CFPB mengingatkan ke semua industri tentang program reward insentif yang jika tidak dipantau dengan hati-hati akan membawa risiko yang serius yang berakibat pada sanksi hukum dan kepatuhan. Pada kasus Wells Fargo, reward insentif tersebut adalah dalam rangka menaikkan target penjualan melalui cross selling produk-produknya.
Praktik insentif untuk cross selling banyak dijumpai di berbagai industri terutama pada konglomerasi atau afiliasi. Tujuan cross selling adalah agar para pegawai khususnya yang memiliki fungsi penjualan dan layanan pelanggan berusaha maksimal untuk menjual bukan hanya produk yang dihasilkan perusahaan atau divisinya tetapi ikut membantu menjualkan produk yang dihasilkan perusahaan atau divisi lainnya dengan memanfaatkan pelanggan yang sudah ada termasuk calon pelanggan sehingga secara group-wide akan dihasilkan peningkatan penjualan.
Cross selling produk perbankan dipercaya akan meningkatkan bukan hanya jumlah rekening, namun dapat meningkatkan simpanan, transaksi perbankan, dan pinjaman. Praktik cross selling diperkenankan apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan.
Apa yang terjadi di Wells Fargo, bukan hanya persoalan mengejar target penjualan yang notabene merupakan target bisnis perusahaan, melainkan sudah menjadi fraud dan melanggar hukum. Walaupun CFPB memerintahkan kepada Wells Fargo mengganti kerugian kepada semua nasabah yang menjadi korban (paling tidak US$2,5 juta), telah nyata perbuatan fraud karena perbuatan ini dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh target perusahaan sekaligus mendapatkan insentif finansial dan melanggar the Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act.
Reuters melaporkan Wells Fargo akan memberhentikan sekitar 5.300 pegawai karena skandal penjualan ilegal ini. Pemecatan ini akan berjalan selama lima tahun. Saat ini Wells Fargo memiliki lebih dari 100.000 pegawai di semua kantornya. Artinya, 5,3% pegawainya akan dipecat atau menurut CNN Money atau Forbes adalah 2% dari sekitar total pegawai 265.000 orang mulai dari tingkatan manajer sampai dengan pegawai biasa. Tidak ada penjelasan apakah ada eksekutif yang seharusnya bertanggung jawab menerima teguran atau bahkan dipecat.
Menghukum tingkat eksekutif mungkin suatu hal yang sulit. Mungkin hal itu disebabkan pembuktiannya yang sulit. Itu sebabnya di Amerika Serikat ada anekdot alasan tidak ada eksekutif senior di bank-bank besar masuk penjara terkait krisis finansial. Mungkin walaupun eksekutif senior mengetahui fraud, namun mampu mengemas dan menutupinya sehingga penegak hukum tak hukum menemukan the smoking gun. Mungkin juga karena fraud adalah insiden yang tidak dapat dinihilkan atau merupakan perilaku salah yang tersebar di mana saja terutama di organisasi yang besar dan kompleks di mana perilaku itu tanpa bukti persetujuan dan kemauan eksekutif senior.
Menganalisis kasus Wells Fargo akan dijumpai banyak pelajaran yang lucunya dapat terulang pada tahun yang akan datang atau di tempat lain. Merujuk ke jumlah pegawai yang dipecat sebanyak 5.300 orang karena melakukan penjualan ilegal maka muncul pertanyaan esensial sebagai berikut:
1. Apakah lembaga pengawas dan pembuat kebijakan di Wells Fargo yang merupakan elemen kunci governance (governance body) menutup mata, tidak tahu ataukah khilaf manusiawi mengenai potensi risiko fraud sekaligus pelanggaran hukum yang dipicu adanya tekanan mencapai target bisnis dan reward insentif? Sebab menurut teori fraud triangle, yang dirujuk ACFE, tekanan mencapai target bisnis dan reward insentif merupakan sebab terjadinya fraud.
2. Apakah fungsi pertahanan kedua menurut The Institute of Internal Auditors (IIA), yaitu kepatuhan (compliance) dan manajemen risiko Wells Fargo tidak melakukan atau salah dalam melakukan ex-ante (langkah pendahuluan) dan proaktif berupa kajian kepatuhan dan manajemen risiko dari suatu inisiatif bank?
3. Apakah bank sebesar ini tidak mengetahui risiko fraud, tidak melakukan penilaian risiko fraud yang menurut IIA dan The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) termasuk aspek kunci dan penting dalam membangun program anti-fraud?
4. Apakah fungsi pertahanan kedua bersama-sama fungsi pertahanan ketiga yaitu Auditor Intern tidak mendeteksi adanya potensi fraud dan/atau gejala fraud sekaligus pelanggaran ketentuan? Dapatkah kita katakan aktivitas audit intern Wells Fargo gagal (gross failure)?
5. Bagaimana dengan budaya organisasi, khususnya integritas? Sesuai pernyataan tentang budaya Wells Fargo di web resminya (https://wellsfargo.com/
Boleh dikatakan praktik ini bersifat masif atau pervasif sehingga menimbulkan pertanyaan di mana atau "ngapain saja" auditor intern, manajemen risiko dan kepatuhan, serta elite-elite pengawasan seperti director atau komisaris dan komite audit. Apakah mereka tidur, membiarkan dan menutup mata dan telinganya? Apakah tidak ada pengaduan mengenai praktik ilegal ini? Karena skandal ini terjadi pada perusahaan besar dan global maka patut dipertanyakan bagaimana pelaksanaan tata kelola oleh elite-elite pengawasan tersebut. Apabila skandal ini terjadi perusahaan kecil atau tidak ternama maka pantas saja orang tidak mempersoalkan pertanggungjawaban tata kelolanya.
Eksekutif senior harus atau paling tidak seharusnya tahu risiko fraud dan pelanggaran hukum atau ketidakpatuhan ini mengingat seharusnya setiap insiatif, produk, program, sistem, kebijakan bank telah dipikirkan risikonya, telah dikaji mitigasinya, telah dinilai dan dievaluasi kualitas atau keefektifan pengendalian internnya. Manajemen atau eksekutif senior adalah penanggung jawab mengenai pengembangan dan pelaksanaan manajemen risiko dan pengendalian. Setiap potensi kelemahan dan risiko yang dapat berakibat kepada organisasi, harus dilakukan perbaikan secepatnya. Patut dipertanyakan bagaimana tanggung jawab eksekutif senior yang dalam kasus ini patut diduga gagal mengembangkan dan menerapkan manajemen risiko, pengendalian intern dan kepatuhan? Di balik itu, wajar juga menduga eksekutif senior gagal menerapkan budaya yang benar secara efektif.
Demikian pula aktivitas audit intern yang seharusnya bekerja secara profesional semestinya dapat membantu manajemen dalam mengarahkan organisasi mencapai tujuannya dengan efektif, efisien, tidak melanggar ketentuan dan berjalan pada prinsip tata kelola yang baik, kemungkinan gagal dalam menjalankan perannya. Terlebih selama dua tahun ini IIA menempatkan risiko kepatuhan sebagai salah satu risiko paling penting yang harus diwaspadai. Angela Witzany – Chairman IIA dalam pidatonya pada Konferensi Nasional IIA Indonesia di Bali tanggal 7-8 September 2016 menyebutkan adanya risiko reputasi, peningkatan dan perkembangan (dampak) regulasi. Salah satu track pada konferensi tersebut juga mengangat isu tentang budaya dan value organisasi. Hal ini seharusnya menjadi perhatian auditor intern. Dalam pelaksanaan penugasan auditnya pun, IIA telah membuat standar yang sangat jelas menekankan kewajiban auditor intern untuk memperhitungkan fraud dan ketidakpatuhan. Atau apakah telah terjadi pengabaian laporan audit intern tentang fraud dan ketidakpatuhan oleh eksekutif senior? Jika terjadi pengabaian, kemana organ dan elit tata kelola berupa komite audit dan para komisaris (director)?
Bila Amerika Serikat telah berusaha meningkatkan efek jera melalui pengenaan denda yaang besar terhadap korporasi, bagaimana dengan skandal korporasi di Indonesia? Dalam skandal Wells Fargo, Pemerintah Amerika Serikat telah mengenakan sanksi denda yang besar. Bukan tidak mungkin seperti skandal lain seperti LIBOR dan manipulasi penyusunan laporan keuangan (fraudulent financial reporting), akan ada investigasi kriminal yang berujung kepada pemidanaan personil kunci. Pada Konferensi Nasional ACFE Indonesia di Bali tahun 2015 telah diwacanakan sanksi denda yang besar pada skandal korporasi (contoh: illegal logging atau pembakaran hutan) mengingat proses investigasi kriminal yang berujung kepada pemidanaan personil kunci memakan waktu sangat lama. Sanksi denda yang besar adalah upaya untuk memberikan efek jera.
Bagaimana menurut pembaca, apakah setuju dengan pendapat penulis? Apa yang pembaca harap dari organ tata kelola, fungsi manajemen risiko dan kepatuhan, serta audit intern?
Penulis: Diaz Priantara, Board of ACFE Indonesia Chapter and Board of IIA Indonesia
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement